Dalam kepercayaan asli berkembang pula anggapan bahwa gunung merupakan tempat arwah nenek moyang atau nenek moyang yang di dewakan. Dengan demikian gunung merupakan suatu unsur yang di dewakan atau Mountain of God. Pemujaan terhadap dewa gunung, sama halnya dengan kultus terhadap dewa matahari direfleksikan pada susunan bangunan dan atau orientasi penguburan mayat.
Susunan bangunan yang memakai konsep pemujaan dewa gunung, adalah bangunan yang termasuk budaya megalitik. Surya Majapahit bagian megalitik didirikan untuk sarana atau media pemujaan tampaknya juga dijiwai oleh konsep pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Hal itu sesuai dengan matahari berkembang sebelum agama Siwa. Pemujaan matahari atau anggapan dasar kebudayaan megalitik adalah kepercayaan sebagai keturunan Dewa Matahari .
Penganut kepercayaan Dewa Matahari telah dianut dan dikembangkan oleh pendukung budaya Megalitik, seperti yang sekarang masih dianut oleh beberapa suku bangsa di Indonesa. Suku bangsa yang melakukan pemujaan dewa matahari di antaranya adalah suku bangsa yang berdiam di Pulau Timor, Kei, Seram, pulau Sumba. Dalam konsep itu berlaku anggapan bahwa matahari mempunyai kekuatan magis, yang senantiasa dipancarkan keseluruh alam sekitarnya.
Atas dasar konsep tersebut, arah matahari terbit juga dianggap mempunyai potensi yang besar dan sebagai sumber kehidupan , sedangkan arah matahari terbenam dianggap sebagai arah kematian atau berkurangnya kekuatan. Ungkapan konsep kepercayaan itu dinyatakan dalam menentukan orientasi dalam penguburan mayat. Orientasi mayat diarahkan ke timur-barat atau barat-timur, sesuai dengan anggapan bahwa kedua arah tersebut merupakan arah magis.
Penempatan mayat dengan kepala di timur adalah refleksi dari anggapan bahwa arah timur merupakan tempat asal nenek moyang. Dengan demikian penguburan dengan kepala di timur dimaksudkan agar arwah orang yang meninggal dapat kembali ke tempat asal. Sedangkan penguburan dengan kepala di barat sesuai dengan anggapan bahwa barat adalah arah kematian.
Masyarakat Jawa kuno menyakini kematian adalah bagian dari siklus kehidupan manusia, terutama. kepercayaan adanyapengaruh kuat dari yang telah mati, terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasad seseorang yang telah meninggal dipusatkan pada bangunan batu yang kemudian menjadi medium pemujaan dan tahta kedatangan serta lambang si mati.
Sesuai dengan konsep tersebut, maka bangunan megalitik dan atau orientasi penguburan mayat pada umumnya diarahkan ke puncak gunung (orientasi chtonis). Penentuan orientasi bangunan pemujaan ke arah gunung, bertujuan agar memperolehkesejahteraan dan kesuburan mengingat gunung merupakan tempat bersemayamnya nenek moyang. Sedangkan penempatan mayat dengan kepala mengarah ke gunung dimaksudkan agar arwah si mati dapat kembali ke tempat asal nenek moyangnya.
Cerminan berkembangnya kepercayaan asli pada masa Majapahit Akhir dapat diketahui dari berbagai aspek, di antaranya adalah dari susunan bangunan keagamaan serta lokasi penempatan bangunannya, Bangunan berteras merupakan ciri umum bangunan masa itu, sedangkan area dan bangunannyaadalah tempat-tempat yang tinggi, seperti misalnyadilereng gunung atau di bukit atau di puncak gunung. Selain data itu, beberapa hasil kesasteraan masa Majapahit. IC/AND/XIII/16