• Post author:
  • Post comments:0 Comments
  • Post category:Local Wisdom / Mitos
  • Post last modified:6 Februari 2023
  • Reading time:4 mins read

 

Nusa Tenggara Timur (NTT) tak cuma kaya akan alam, tapi juga budaya dan adat istiadat yang masih lestari sampai hari ini. Pasola adalah  salah satu tradisi turun menurun yang dilakukan  oleh masyarakat Sumba. Dalam bahasa lokal, tradisi ini dikenal sebagai  pahola atau pasola.

 

Saling serang dengan lembing, source : antara

 

Pasola  diambil dari kata ‘pa’ yang berarti permainan, dan ‘hola’ yang  artinya tongkat atau lembing kayu. Jika diartikan secara bebas adalah permainan melempar  lembing.  Sejak dulu tradisi ini dimainkan sebagai ucapan  syukur  saat menyambut musim panen oleh para penganut agama Marapu, agama asli masyarakat NTT.

Sebelum Pasola digelar, masyarakat  terlebih dulu melaksanakan  tradisi mencari ‘Nyale’ atau cacing laut yang berwarna-warni.  Nyale biasanya dilakukan oleh para Rato atau ketua adat Sumba dengan  melakukan ritual pemanggilan nyale dari tepi pantai.

Kita  para Rato menemukan  Nyale yang sehat dan gemuk maka   Pasola dapat diselenggarakan. Tapi  jika saat ritual nyale  ditemukan nyale sakit atau kering, maka itu tanda  Pasola tidak akan dilaksanakan. Pasola diselenggarakan setahun sekali, pada sekitar  Februari sampai Maret secara bergiliran di empat kampung  di Kabupaten Sumba Barat, kampung  Gaura, Lamboya, Kodi dan Wonokaka.

Biasanya  para tetua adat menentukan pelaksanaan pasola ini berdasarkan perhitungan bulan gelap dan terang, juga melihat tanda-tanda alam, Secara umum  menjelang masa panen raya. Pasola dilakukan di bentangan padang yang luas dan ditonton oleh warga sekitar.

Peserta ritual ini terbagi dalam dua kelompok yang terdiri dari sekitar seratusan pemuda. Para pemuda ini  menunggang kuda  berbekal kayu lembing yang nantinya akan dilemparkan ke arah  lawan, layaknya sebuah  peperangan.

Kuda yang ditunggangi haruslah kuda-kuda jantan. Kuda-kuda tersebut adalah kuda pacu asli  Sumba. Para pemuda itu mempersenjatai diri  dengan lembing kayu  tumpul berdiameter 1,5 cm. Meski tumpul tapi lembing ini tetap bisa berbahaya bagi lawan.

Karena itu bila ada yang terluka dan mengeluarkan darah, sesuai  kepercayaan mereka, darah yang tertumpah itu akan menyuburkan tanah mereka. Tapi jika sampai ada pemain yang meninggal, berarti sebuah hukuman dari dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran.

Sampai meneteskan darah sebagai bukti kesungguhan, source : nttnews

 

Setiap penunggang  harus mengendalikan kudanya dengan kencang kemudian  melemparkan lembing kayu ke arah lawan. Tentu saja hal ini bisa sangat berbahaya bagi mata dan muka lawan. Meski begitu Tak boleh ada dendam diantara para setelah tradisi tersebut usai digelar.

Menurut cerita masyarakat Sumba,  Pasola dimulai dari kisah seorang perempuan cantik bernama Rabu Kaba dari  Kampung Waiwuang dengan suami yang bernama Umbu Dulla. Suaminya adalah  pemimpin Kampung Waiwuang. Selain Umbu ada lagi pemimpin lain yang bernama Bayang Amahu dan Ngongo Tau Masusu.

Pada suatu ketika ketiganya  berpamitan hendak melaut. Bukannya  melaut, mereka justru pergi ke sebuah negeri yang makmur untuk mengadu nasib. Karena pergi dalam waktu yang sangat lama, warga kampung  menyangka jika  sang pemimpin telah meninggal.

Rabu Kaba lantas jatuh cinta pada  Teda Gaiparona dari Kampung Kodi. Celakanya  kedua keluarga juga tidak merestui hubungan tersebut, hingga keduanya memutuskan untuk kawin lari, Teda membawa Rabu Kaba ke kampungnya.

Nyatanya  ketiga pemimpin yang dikira sudah meninggal  tiba-tiba pulang ke Kampung Waiwuang. Umbu Dulla terkejut dan terpukul pun mendapati istrinya telah kawin lari bersama Teda, hingga ia memutuskan  mencari istrinya. Sayang, setelah istrinya ditemukan,  Rabu Kaba justru menolak untuk kembali.

Dengan berat dan sakit hati,  Umbu Dulla rela melepaskan istrinya, dengan syarat  Teda Gaiparona harus menikahi Rabu Kaba dengan sah dan membayar mas kawin atau  belis sebagai  pengganti belis   Umbu Dulla saat  meminang Rabu Kabba.

Teda memenuhi semua syarat yang diminta Umbu sebagai  penghormatan terhadap Umbu Dulla. Setelah itu  Umbu Dulla menyelenggarakan  pesta Nyale bersama warga Waiwuang hingga berbentuk  tradisi Pasola. Tradisi pasola dilakukan Umbu Dulla untuk melupakan kesedihannya. IC/AND/XIII/14- Source : Indonesian Heritage Museum, Jawa  Timur  Park 1-Jl. Kartika no. 2 Kota Wisata Batu 

Komentar Untuk Pasola, Tetesan Darah Pembawa Berkah