Salah satu unsur  kekayaan Indonesia adalah adalah budaya dari suku bangsanya yang sangat beragam. Hampir disetiap tempat dan pulau di Indonesia ini memiliki kekhasan budaya yang tidak bisa dijumpai di tempat lainnya. Tak akan ada habisnya dibahas dan diulas, dan kali ini Indonesian Cultures akan membahas salah satu koleksi dTopeng Museum Batu Malang, patung Tau-tau dari Toraja.

Suku Toraja mendiami pegunungan di Utara Sulawesi Selatan. Sampai saat ini, mereka masih menjaga dan memelihara tradisi leluhur.   Salah satu ritual dan tradisi yang masih lestari dan selalu menjadi daya tarik wisata adalah ritus kematian. Dan bicara ritual kematian masyarakat Toraja, maka Patung Tau-tau adalah ‘maskotnya’ selain upacara-upacara adat.

Tradisi membuat pantung Tau-tau ini diperkirakan mulai dilakukan sejak awal abad ke-19. Awalnya tradisi ini hanyalah milik para bangsawan. “ Tujuan pembuatan Tau-tau adalah representasi dari status sosial dan kekayaan keluarga orang yang meninggal dunia. Jika dulu bentuknya masih sangat sederhana, Tau-tau zaman sekarang jauh lebih bagus karena sudah dibuat dengan peralatan modern. Hal ini memberikan detail yang lebih presisi pada wujud wajah dan anggota tubuh patung tersebut,” buka Reno Halsamer pada Indonesian Cultures.

patung-kematian-tau-tau

Patung Tau-tau pada masa lalu, source : wikimedia

Bahan Pilihan

Kata Tau-tau, lanjutnya Reno,dari istilah “Tau” yang berarti manusia. Dan jika gunakan dengan pengulangan kata dalam bahasa Toraja, “Tau-tau” maka artinya, ‘sesuatu yang menyerupai.’ Jadi secara definisi, Tau-tau dapat diartikan sebagai sesuatu yang menyerupai manusia. Tau-tau juga dipercaya mewakili roh-roh mereka yang telah ada di alam lain yang biasa disebut Poyo.

Adat kepercayaan Toraja meyakini, setiap orang yang meninggal akan memasuki poyo, tempat semua arwah berkumpul. Namun, mereka hanya dapat memasuki poyo ketika mereka telah melewati semua upacara pemakaman yang benar sesuai status sosial almarhum. “Patung Tau-tau dibuat dari bahan sesuai dengan status sosial almarhum.  Untuk dengan strata sosial masyarakat kebanyakan  biasanya menggunakan bambu. Untuk strata menegah memilih  menggunakan kayu randu hingga cendana.  Untuk kalangan kelas atas menggunakan bahan dari pohon nangka asli Toraja, namun kini kayu nangka telah didatangkan dari luar Toraja,” ulas Reno sambil memperlihatkan Tau-tau koleksi museumnya.

 

Ritual Religius.

Menurut Reno Halsamer, kegagalan proses pembuatan Tau- tau akan membuat roh-roh terdampar atau berkeliaran diantara dua dunia. Gelaran ritual Mang Lassak atau ritual untuk menentukan jenis kelamin patung saat proses penggarapan. Terakhir, ritual Disalau, sebuah ritual untuk mentrabiskan Tau-tau.

source : kemdikbud

Patung Tau-tau di zaman modern, detail penggarapan menyerupai almarhum, source : kemdikbud.

 

Begitu pentingnya Tau-tau membuatnya hanya bisa dan boleh dikerjakan oleh orang-orang pilihan. Sepanjang proses pembuatan patung, pemahatnya harus terus berdekatan dengan almarhum. Ada juga yang mensyaratkan pembuat Tau-tau harus kenal atau memiliki kedekatan dengan orang yang meninggal dunia.

“Dulunya Tau-tau hanya boleh dibuat bagi para bangsawan atau disebut Tana. Alasannya sebagi representasi dari orang yang telah meninggal dan harus disembah menurut status mereka. Tau-tau adalah penjaga dunia arwah, karena melalui patung ini, hubungan antara orang yang masih hidup dengan mereka yang telah mati masih tetap dapat dilakukan. Ada juga yang menyebut Tau Tau sebagai patung penjaga makam,” jelas kurator ini.

Selain sebagai penjaga makam, masyarakat Toraja juga menyebut Tau tau sebagai pelindung mahluk hidup. Zaman dahulu, pembuatan Tau-tau  dilakukan secara terpisah seperti tangan, kaki dan alat kelamin yang terpisah dari badan.  Seluruh rangkaian ritual pembuatan ini, diiringi dengan penyembelihan hewan korban sebagai sarana  upacarapenuh aura mistis ini. Demikian juga saat Tau-tau  selesai dibuat, maka keluarga akan kembali mengobarkan hewan ternak lagi. Ritual ini disebut massa’bu.

Penempatan Tau-tau di gua-gua makam, source: Indonesia Travel.

 

Ketika semua acara dan upacara itu lengkap, Tau-tau akan ditempatkan di pintu-pintu makam, pada tebing batu dan tempat-tempat penyimpanan jenazah. Satu liang makam, dapat diisi oleh beberapa jenasah dari satu keluarga.

Orang Toraja menyebut gua-gua makam ini sebagai Londa yang berada di Desa Sandan Uai, Kabupaten Toraja Utara. Bagi masyarakat Toraja ritual puncaknya disebut Rambu Solo dan menelan biaya yang tidak sedikit. Itulah sebabnya dulu ritual ini hanya mampu dilakukan oleh para bangsawan, karena prosesnya yang sangat panjang. Demikian pula, sosok yang diwujudkan sebagai Tau-tau juga hanya dari kalangan bangsawan saja.

Orang Toraja juga sangat menyakini jika arwah orang mati akan memasuki patung Tau-tau. Penganut Aluk Talado, meyakini  bahwa orang mati, yang mati hanya raganya, sementara rohnya tetap hidup tapi di alam lain. Dan Tau Tau yang dibuat sebagai penjelmaan roh orang yang mati.

Masyarakat Toraja mengenal beberapa strata sosial dalam tatanan kehidupan mereka.  Golongan tertinggi adalah golongan bangsawan atau Tana Bulaan. Bangsawan menengah atau Tana Bassi dan rakyat biasa atau Tana Karurung. Sementara golongan terakhir dalam strata sosial Toraja adalah sahaya atau Kua Kua.

Begitu uniknya  pola pemakaman ini, saat ada orang meninggal justru menjadi daya tarik pariwisata. Kekayaan budaya ini pasti membuat takjub sobat Cultures, dan bukan tidak mungkin suatu saat ingin  mengunjungi Tanah Torajadan mengeksplorasi keunikan budayanya. IC/VII/AND/22

 

Komentar Untuk patung kematian tau-tau