Perempuan pembawa sial, itulah salah satu mitos menarik yang sampai saat ini masih sangat dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa. Mitos tersebut adalah kisah tentang wanita pemilik bahu laweyan. Para wanita bahu laweyan ini bukan wanita biasa, mereka ini memiliki kekuatan financial yang kuat di masyarakat. Hanya saja meski kaya, mereka ini umumnya hidup menjanda.
Mitos perempuan bahu laweyan akan ‘membunuh’ pria untuk lepas dari kutukan yang melekat pada dirinya.
Kisah ini pernah sangat popular di Surakarta. Sebut saja nama wanita itu adalah Mawar. Seorang janda muda yang ditinggal mati oleh suaminya. Yang menarik adalah, di usianya yang baru 30 tahunan, perempuan cantik ini sudah menyandang predikat janda sebanyak empat kali.
Artinya Mawar sudah menikah sebanyak empat kali namun mengalami perceraian. Uniknya semua perceraian yang dialami Mawar adalah karena ke empat suaminya meninggal dunia.
Agaknya kisah tak lazim inilah yang mengilhami masyarakat menyebut Mawar adalah pemilik bahu laweyan. Yang mana akan membuat laki-laki manapun yang menikahinya pasti akan mati.
Dalam kepercayaan Masyarakat Jawa, sosok wanita bahu laweyan memang bukan sosok yang sembarangan. Karenannya seorang pria dianjurkan untuk berpikir masak-masak sebelum memutuskan menikah atau hidup bersama dengan perempuan bahu laweyan. Tentu saja hal ini terkait dengan nyawa atau keselamatan jiwa mempelai lelaki.
Secara kajian historis, bahu laweyan adalah salah satu bentuk katuranggan atau cirri khas yang melekat pada diri wanita. Meski terkesan bias gender, ilmu tentang katuranggan ini memang sengaja diciptakan oleh para pendahulu untuk mengkondisikan agar seorang pria selalu berhati-hati dan memperhatikan bibit, bobot dan bebet sebelum memilih istri. Dan menurut ilmu katuranggan bahu laweyan adalah satu jenis ciri khas wanita yang dihindari. Dihindari karena tipe ini dapat membahayakan laki-laki yang mengawininya.
Disampaikan oleh GPH Dipokusumo, budayawan dari Keraton Surakarta. Ilmu katuranggan dapat menjadi tuntunan agar seorang laki-laki tidak akan sembarangan dalam memilih calon istri. Karena pernikahan yang akan dijalaninya adalah bagian dari proses perjalanan hidup yang tidak bisa dibuat main-main.
Sementara untuk bahu laweyan sendiri, Dipokusumo memang tidak secara spesifik memastikan bagaimana ciri fisik yang melekat pada perempuan yang memilikinya. Belum ada keterangan yang pasti yang menjelaskan tentang sosok perempuan bahu laweyan. Cerita yang berkembang di masyarakat umumnya hanya sebatas cerita atau kisah tutur yang berkembang dari mulut ke mulut dan diyakini sebagai sebuah kebenaran. Meski belum pernah ada bukti empiris.
“Pembuktian terhadap sosok bahu laweyan tentu saja sangat sulit. Celakanya pembuktian dari klaim bahu laweyan yang diyakini sebagai perempuan pembawa sial ini harus dengan menjalani hidup bersamanya atau mengawininya. Dan meski orang-orang tua kita dulu telah membeberkan beberapa cirri fisik tertentu terkait bahu laweyan, namun hal itu belum bisa seratus persen disebut sebagai ciri bahu laweyan. Karena sesungguhnya bahu laweyan itu lebih terlihat dari kejadian yang muncul setelah seseorang menjalani hidup bersama perempuan yang dianggap bahu laweyan,” jelas Dipokusumo.
Kepercayaan masyarakat Jawa menyebutkan, penggambaran bahu laweyan sebagai perempuan dengan ciri khusus berupa toh atau tompel atau tahi lalat besar yang ada di bahu kirinya. Ada juga yang menyebut bahwa perempuan bahu laweyan adalah perempuan yang memiliki toh tepat di atas kemaluannya. Lalu ciri yang lain menurut Dipokusumo, adalah adanya lubang tepat di punggungnya. Lubang ini sangat mirip dengan lesung pipit di pipi. Lesung di punggung ini akan menjadi tanda langka yang tidak akan dimiliki oleh wanita-wanita kebayakan. Dan ada pula yang menyebut perempuan ini memiliki bahu melengkung seperti busur panah. IC/XI/AND/03