• Post author:
  • Post comments:0 Comments
  • Post category:Local Wisdom
  • Post last modified:28 Juni 2022
  • Reading time:5 mins read

Seminggu pasca hari raya Galungan dan Kuningan, Desa Adat Kesiman, Denpasar menggelar upacara Ngerebong. Upacara dipusatkan di Pura Dalem Muteran atau lebih dikenal dengan nama Pura Pangerebongan. Upacara ini harus selalu dilaksanakan jika warga ingin terbebas dari Kala Awung-awung, entitas gaib yang dipercaya sebagai penyebar wabah penyakit.

Puncak upacara berlangsung sekitar pukul 15.00. Mereka mengenakan baju putih dan saput (kain bawah) berwarna poleng (hitam putih), dan berjalan beriringan menuju tempat pelaksanaan upacara. Selain umat yang hendak sembahyang, juga terlihat para bebotoh tajen alias  pejudi sabungan ayam yang hendak bertaruh dalam aduan ayam di pura tersebut.

Saat para pemangku (pelayan agama) mempersiapkan rangkaian ritual, para bebotoh sibuk bertaruh. Suara kidung suci, tetabuhan gamelan dan puja mantra lebur menyatu dengan teriakan para bebotoh “Cok, gasal, dapang dan tludo” untuk menyebutkan jumlah taruhan.

Upacara Ngerebong

Begitulah suasana yang kerap terlihat dalam setiap pelaksanaan upacara Ngerebong, sebagai salah satu tradisi di Desa Kesiman.

Sejarah Upacara Ngerebong

Menurut sejarawan Wayan Turun, sudah dilaksanakan pada masa kerajaan Bali Kuna yang diperintah Raja Asta Sura Ratna Bhumi Banten.

Namun setelah keturunan raja Asta Sura yang bernama Arya Panji Singaraja dikalahkan Patih Gajah Mada,  Desa Kesiman yang dipimpin seorang ksatria dari Majapahit bernama  Arya Wang Bang, nyaris melupakan tradisi tersebut. Akibatnya, sang raja konon dikutuk menjadi Ki Dukuh Sakti akan dikalahkan semut. Kutuk itu terbukti dan sang raja kabur dari wilayah kerajaannya pada 1527 Caka.

Kekosongan ini akhirnya diisi oleh keturunan Raja Badung bergelar  Kyai Pemayun. Saat menjadi raja di wilayah tersebut, Kyai Pemayun mendengar suara gaib agar kembali melaksanakan upacara Pengerebegan untuk penyucian wilayah kerajaan yang kemudian dikenal dengan Ngerebong. Upacara tersebut digelar kembali pada  1527 Caka atau 1617 Masehi.

Asal Nama Ngerebong

Ngerebong sendiri menurutnya berasal dari kata “Ngerebo” atau “Ngerebu” yang berarti menyucikan. Kata itu juga bermakna “Ngerebeg” yaitu berkumpul dan berputar untuk menyucikan atau membersihkan wilayah.

Secara filosofis, prosesi dalam upacara ini identik sebuah keramaian yang digelar  oleh kerajaan besar, yaitu Kerajaan Kesiman. Keramaian yang bernama Meraja Kuning ini bermakna untuk Nyomya atau mentralisir sifat rajas atau nafsu yang berlebihan dalam diri setiap orang. Upacara ini memiliki makna yang sama dengan upacara Rajasewala dan Rajasingha, yaitu upacara untuk para remaja yang memasuki usia akil balik. Tujuannya untuk menekan sifat-sifat rajas yang biasanya lebih dominan menguasai para remaja.

Namun makna yang lebih luas dari  pelaksanaan upacara Pangerebongan ini adalah sebagai sebuah bentuk penyucian memakai sarana bebanten (sesaji) dan babi guling dari babi yang belum dikebiri untuk menjaga keharmonisan alam beserta isinya.

Masyarakat Desa Adat Kesiman, Denpasar sangat menyadari pentingnya menjaga keharmonisan alam  semesta untuk keselamatan dan kesejahteraan warganya. Oleh karena itu, upacara Ngerebong digelar tiap enam bulan atau sekitar 210 hari, seminggu setelah hari raya Galungan dan Kuningan.

asal nama Ngerebong

Kerawuhan, Sisi Magis Upacara Ngerebong

Ritual Ngerebong tergolong  unik dan magis. Untuk mensakralkan ritual yang hanya ada satu-satunya di Bali ini, dibuatkan prosesi dengan menghadirkan barong dan rangda yang berasal dari wilayah Denpasar dan Badung sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Kesiman.

Konon saat masih berbentuk kerajaan, Raja I Gusti Gde Ngurah Kesiman atau dikenal dengan nama Ida Anak Agung Gede Sakti Kesiman, menempatkan barong dan rangda di beberapa desa yang menjadi wilayah kekuasaannya seperti Kebon Kori, Sanur, Tohpati, Bekul, Ubung, hingga Bukit Sawangan, Badung.  Pada saat upacara Ngerebong, barong dan rangda diusung ke Pura Pangrebongan untuk mengikuti ritual.

Ritual ini harus selalu digelar dalam kondisi apa pun. Ada sanksi niskala (gaib) jika sampai  upacara Ngerebong ditiadakan. Para bhutakala dan para Kala Awung-awung akan membuat keonaran dengan wabah yang dibuatnya.  Hal ini sudah tertulis dalam  lontar Purana Tatwa Jro Gede Abiantimbul.

Upacara ini pun mampu menghadirkan kekuatan magis terhadap umat yang datang ke tempat upacara. Tidak hanya umat yang mengiringi barong dan rangda yang diusungnya, termasuk juga umat yang hendak menonton. Tak dapat diduga, umat akan kesurupan dan melakukan ritual ngurek dengan menusuk bagian dada, kepala hingga pelupuk matanya dengan keris.

Kerawuhan dalam ngerebong

Teriakan histeris dari orang-orang yang kerauhan terdengar di berbagai sudut saat prosesi ngerebeg dilakukan. Mereka yang semula tampak tenang-tenang di warung atau sedang menonton sabungan ayam, tiba-tiba berteriak histeris dan meminta keris untuk melakukan ritual ngurek.

Turunnya kekuatan magis tersebut biasanya bermula dari sesaji yang dihaturkan pemangku di dalam Pura Agung Petilan. Saat pemangku memohon kehadiran roh suci, puluhan orang  termasuk pengusung (penari) barong dan rangda langsung kesurupan. Mereka yang kesurupan ini kemudian keluar dari pura untuk mengitari balai wantilan (pendopo) sebanyak tiga kali. Nah, saat itu pula, beberapa penonton dirasuki kekuatan magis lalu ikut ngurek. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun jika kehendaki roh suci juga akan ikut kesurupan.

Rangkaian mengitari balai wantilan inilah disebut dengan Ngerebeg yang bermakna memberi upah kepada para bhutakala. Prosesi ini juga diisi dengan mempersembahkan tarian sakral oleh para pemangku. Salah satu sarana upacaranya adalah babi guling jantan.

Sebagai persyaratan mengikuti rangkaian upacara ini, umat terutama para pemangku menggunakan kain poleng. Kain itu sendiri bermakna penyucian (sudamala). Karena itu pula, kain ini dipakai lambang oleh Desa Kesiman yang disebut Poleng Kesiman.

Ritual Ngurek menjadi ikon dari pelaksanaan upacara Ngerebong, seolah upacara Ngerebong adalah ritual Ngurek. Siapa saja yang hadir dalam upacara tersebut bisa  kesurupan kemudian menghujam tubuhnya dengan keris dan tombak. Ritual ini pula yang menjadi daya tarik bagi masyarakat Bali yang bukan pengusung pura untuk datang ke Pura tersebut. Mereka datang hanya untuk melihat atraksi ngurek dari umat yang kesurupan.  IC/VII/INS/ 07

 

Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia

Komentar Untuk indonesia culture, indonesian culture, budaya indonesia, adat indonesia