Kematian menjadi salah satu peristiwa yang membawa kesedihan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kedukaan yang mendalam perlu mendapat penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Uniknya Masyarakat Simalungun punya cara tersendiri, yang disebut Huda-Huda.
Cara atau tradisi unik itu adalah Tari Huda-huda atau Topeng-topeng. Tari topeng ini yang digelar saat upacara kematian orangtua yang sudah saur matua dalam prosesi adat Simalungun. Dalam Adat Simalungun, disebut saur matua adalah orangtua yang meninggal sudah lanjut usia yang anak-anaknya sudah menikah semua. Tari Huda-huda ini dimainkan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan maupun untuk orang dan kerabat yang datang yang melayat. Mulanya, tarian ini hanya digelar dalam lingkup keluarga atau anggota kerajaan yang meninggal dunia. Namun setelah Indonesia merdeka dan tak lagi ada perbedaan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata, tarian dapat digelar oleh siapa saja di wilayah Simalungun.
Asal muasal tari ini terjadi karena satu-satunya anak raja meninggal dunia. Peristiwa ini memukul Permaisuri karena kesedihan yang sangat mendalam. Sejatinya permaisuri tidak merelakan anaknya dimakamkan. Bahkan setelah beberapa hari berlalu, permaisuri tetap tidak mau melepaskan anaknya dari pangkuannya.
Tentu saja hal ini membuat Raja sangat berduka. Kehilangan dan guncangan yang dialami permaisuri membuat seluruh kerajaan merasa berduka. Untuk mengakhiri semua kesedihan ini, raja memutuskan untuk mencari cara untuk membujuk sang permaisuri sekaligus menghibur hati yang duka.
Mereka kemudian menciptakan gerakan-gerakan yang lucu. Untuk menambah kelucuan, ada yang menutup mukanya dengan paruh burung enggang. Yang lainnya membuat topeng, satu berbentuk wajah laki-laki dan satunya lagi berbentuk wajah perempuan. Teman-teman yang lain membuat bunyi-bunyian untuk mengiringinya.
Kerabat kerajaan kemudian mementaskan tarian lucu itu di depan istana. Beruntung, melihat dan mendengar musik dan tariak yang ada di halaman istana, permaisuri merasa tertarik. Ia pun turun ke bawah melihat pertunjukan itu dari dekat. Rupanya, saat melihat tarian itu, kesedihan sang permaisuri teralihkan. Untuk sejenak, permaisuri terhibur dan mampu sedikit kesedihan akibat kematian anaknya. Pada saat yang sama, raja dengan cepat memerintahkan supaya putranya yang meninggal dunia dimakamkan dengan segera. Sejak saat itulah, jika ada anggota kerajaan yang meninggal dunia, maka dibuatlah suatu pertunjukan yang lucu untuk menghibur keluarga yang berduka.
Saat ini, Tortor Topeng-topeng atau Huda-huda dipertontonkan saat prosesi adat kematian saur matua orang Simalungun, untuk menyambut tondong (sebutan untuk keluarga yang berkabung) yang datang melayat. Dalam penyambutan itu semua keluarga besar yang berduka menari untuk menyambut tondong. Yang paling depan menari untuk menyambut tondong tujuannya agar tondong yang datang merasa terhibur.
Peratan yang digunakan adalah topeng dalahi atau berbentuk wajah pria, topeng daboru (berbentuk wajah perempuan) dan huda-huda (topeng berbentuk parung burung enggang). Kini semua koleksi Huda huda itu dapat disaksikan di Indoensian Heritage Museum di Jatim Park I. IC/AND/XVIII/25