• Post author:
  • Post comments:0 Comments
  • Post category:Tradisi
  • Post last modified:3 Desember 2024
  • Reading time:4 mins read
source : radar jogya

 

Dalam menyebarkan Agama Islam di tlatah Jawa bagian tengah, Sunan Kalijaga memiliki murid yang kemudian juga disebut sebagai waliyullah. Salah satunya adalah Panembahan Bodho yang turut menyebarkan Islam di daerah Bantul, Jogjakarta. Disebut Panembahan karena merupakan tokoh yang disegani dan dianggap sebagai sesepuh pendahulu Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam.

Tokoh yang juga pernah berguru pada Ki Ageng Gribig ini sebenarnya adalah seorang penguasa bergelar Adipati Terung III. Namun dengan alasan lebih memilih menjadi ulama penyebar Islam, dia menolak jabatan itu. Inilah mengapa dia mendapat sebutan Panembahan Bodho, dari kata ‘bodho’ atau bodoh. Saat meninggal dunia, pemilik nama asli Raden Trenggono ini dimakamkan di Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul.

Di makam yang sekarang dikenal dengan nama Makam Sewu inilah, setiap hari Senin tanggal 20 atau lebih pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa, rutin digelar upacara Nyadran. Inti dari tradisi yang juga digelar di tempat lain ini adalah mengirim doa kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Praktiknya berupa ziarah dan membersihkan makam, menghaturkan sejumlah doa, serta mempersembahkan makanan. Semua dikemas sedemikian rupa dalam acara selamatan, kenduri, megengan, atau saling berkirim makanan. Dalam kesempatan itu, sanak saudara, kerabat, juga tetangga bisa berkumpul dan bersilahturahmi. Di situ mereka saling memaafkan, dan bersiap menjalani ibadah puasa bulan Ramadhan dengan hati yang suci.

Namun berbeda dengan tempat lain yang biasanya hanya digelar secara sederhana, nyadran di Makam Sewu diwarnai dengan sebuah ritual menarik. Yaitu kirab jodhang, tandu berisi aneka sesaji dan uba rampe kenduri, yang akan dibagikan kepada masyarakat sekitar makam. 16 jodhang dari 13 pedukuhan yang ada di Kecamatan Pandak dan Pajangan dikirab dalam Nyadran Ageng tersebut. Ribuan orang yang kebanyakan mengenakan pakaian adat Jawa, ikut berjalan kaki sejauh 1 kilometer dari Balai Desa Wijirejo menuju Makam Sewu.

source: dinas pariwisata bantul

 

Setiap jhodang dikawal oleh puluhan laki-laki yang disebut bregodo. Setiap barisan bregodo memiliki ciri-ciri tersendiri pada pakaian dan senjata yang disandangnya. Misalnya, bregodo Kyai Panjang dari Dusun Panjangan, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, mengenakan surjan hijau, bertapih kain jarik, lengkap dengan blangkon sebagai penutup kepala. Mengikuti irama tambur di belakangnya, mereka berjalan gagah dengan senjata tombak di tangan.

Sebuah tiruan naga berwarna merah, yang sekilas mirip liong dalam budaya Tionghoa, ikut mengawal kirab di bawah matahari yang sangat terik siang itu. Ada pula barisan remaja putri dan ibu-ibu, yang masing-masing membawa ancak berisi sesaji. Tak ketinggalan barisan drumband dan hadrah, membuat terhibur ribuan warga yang menyemut di pinggir jalan desa Wijirejo.

source : tribun jogya

 

Ribuan warga tersebut, bukan hanya penduduk lokal, tapi juga dari luar daerah DIJ dan Jateng. Mereka adalah para peziarah wali, dan orang-orang yang memiliki leluhur yang dimakamkan di Makam Sewu. Selain berziarah ke makam leluhur, momentum nyadran juga mereka manfaatkan untuk menengok sanak keluarga.

Sesampai di lokasi, belasan jodhang ‘disemayamkan’ terlebih dulu di pendopo yang ada di depan makam. Meski sama-sama berisi sesaji, bentuk jodhang-jodhang tersebut berbeda tergantung jenis sesajinya. Sesaji berupa buah-buahan, palawija, dan hasil bumi lainnya, dibentuk seperti gunungan. Dukuh Kalak Ijo, Desa Guwosari, Pajangan, dan Dukuh Pedak, Wijirejo, Pandak, membawa jodhang seperti ini.

Sementara yang berupa aneka makanan, jodhangnya terlihat sederhana, berbentuk kotak biasa. Dusun Panjangan misalnya, membawa jodhang seperti ini dengan sesaji berupa tumpeng, sego gurih, ingkung ayam, ketan, apem, kolak, dan lain-lain. Jodhang dari Dusun Bergan, Wijirejo, paling terlihat unik, karena jodhang berbentuk gunungannya terdiri dari kue apem semua.

Menurut Mudjahirin Thohir, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, sesaji-sesaji di atas sebenarnya adalalah makanan-makanan simbolik. Makanan-makanan ini dipilih sesuai ‘kesukaan’ atau ‘klangenan’ leluhur atau almarhum dan almarhumah semasa hidup. IC/AND/XVI/10

Komentar Untuk Jodang-jodang Pembawa Berkah Keselamatan, Tradisi Nyadran Makam Sewu – Bantul