Setelah keberhasilan panen raya, para lelaki masih punya sebuah presentasi bagi kelompok sukunya. Adu kaki untuk menentukan siapa lelaki terkuat di desa. Tak melulu soal kekerasan baku tendang ini juga sebagai bentuk ungkapan syukur.
Inilah tradisi unik Desa Kande Api, Kecamatan Tikala Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Tradisi kekerasan adu kaki ini merupakan tradisi para petani dalam usai melakukan panen raya. Ketika hasil panen melimpah tidak ada cara bagi para petani selain bersyukur atas kemurahan Tuhan. Dan salah satu wujud syukur itu adalah dengan menggelar adu kuat kaki.
Warga Desa Kande Api pun masih melestarikan tradisi adat budaya warisan leluhur mereka. Setiap tahun, warga menggelar tradisi pesta panen dengan membawa berbagai macam makanan khas seperti nasi bambu atau dikenal dengan nama peong. Saat itu mereka semua berkumpul dan tumpah-ruah di alun-alun desa. Semua datang tak terkecuali. Mereka datang sambil membawa berbagai macam makanan yang nanti juga akan mereka santap bersama.
Setelah itu, disuguhi tarian ma’gallu yang dibawakan oleh remaja putri. Tarian ini bermakna sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang berlimpah. Saat tarian ini pagelaran, warga yang merasa terhibur diperkenankan memberikan uang atau nyawer sebagai tanda kegembiraan dan terima kasih.
Sisemba Sebagai Acara Puncak
Setelah tarian ma’gallu berakhir, pesta masih terus berlanjut bahkan kian semarak. Acara selanjutnya adalah pagelaran tradisi ma’lambuk atau menumbuk padi. “Dalam tradisi ini, kaum pria memukul lesung dengan irama tinggi, diikuti gerakan tari- tarian serta teriakan khas Toraja. Warga sangat meyakini, irama ketukan lesung dapat mengusir hama padi. Semakin tinggi irama ketukan, semakin banyak hama yang diusir,” terang Isac Padangsulle tokoh masyarakat Kande Api .
Setelah itu, pesta ini menginjak acara puncak yakni tradisi baku tendang atau sisemba. Saat itu, para pemuda mulai membentuk barisan mirip persiapan sebuah perang. Bagi orang luar Toraja, pemandangan ini mirip seperti pemandangan sekelompok pemuda yang hendak bersiap-siap tawuran. Riuh rendah teriakan dan kata-kata tantangan dilontar masing-masing kelompok. warga dari kampung tetangga, saling berhadap-hadapan untuk saling serang. Aturannya sederhana, tendang sekuat mungkin dan lumpuhkan lawan sebanyak mungkin. Meski begitu kerja sama kelompok adalah kunci kemenangan dalam tradisi ini.
Meski terkesan penuh kekerasan, namun warga desa cukup sportif dalam mejaga aturan main Sisemba. Mereka tidak akan terus menyerang jika ada lawan yang terjatuh akibat tendangan. Disinilah kuncinya, agar tak terjatuh, biasanya mereka akan saling berpegangan antara empat sampai lima orang untuk menyerang lawannya. Tendangan demi tendangan akan saling melayang untuk mendapat sasaran.
Tradisi Sisemba Yang Kerap Jatuh Korban
Karena permainan adu kekuatan, mustahil jika tidak ada luka atau kecelakaan. “Peserta pasti mengalami cedera, mulai keseleo, terluka akibat kerasnya tendangan, hingga patah kaki. Tapi kami tetua adat senantiasa menjaga mereka agar tak melampaui batas. Dan yang terpenting tidak ada dendam usai acara ini. Usai bubar sisemba mereka akan akrab kembali sebagai teman atau saudara,” jelas Issac.
Meski akan terjadi dan muncul korban, bukan berarti tradisi harus dihentikan. Menurut Issac, tradisi ini sudah berjalan hampir selama 700 tahun dan sebuah keharusan jika tradisi harus dilanjutkan. Pasalnya, jika tidak melaksanakan tradisi sisemba, maka diyakini akan berakibat gagal panen. “Saya lupa, tapi warga dulu pernah lupa menggelar sisemba. Akibatnya setahun berlalu, panen kami hancur total. Tanaman padi yang hendak dipanen diserang hama tikus dan banjir. Akibatnya panen raya di depan mata gagal total. Sejak itu kami tak berani lagi lupa atau tak menggelar sisemba,” tegas Isac. foto : tempo, IC/VII/AND/08
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia