Cambukan demi cambukan itu mendarat di tubuh peserta. Luka gores dan darah yang menetes adalah ungkapan rasa syukur masyarakat akan datangnya bulan Syawal.
Sebagai ungkapan rasa syukur, masyarakat Maluku Tengah mengelear tradisi Ukuwala Mahiate atau Baku Pukul Menyapu. Salah satu tradisi unik dalam perayaan Lebaran. Tradisi yang digelar di Desa Mamala, Kecamatan Leihitu digelar sudah ratusan tahun.
Banyak yang menyebut tradisi ini sudah dilakukan sejak abad ke-16 masehi. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan oleh warga Desa Mamala untuk merayakan Lebaran Tujuh Syawal atau disebut juga Lebaran Kecil.
Prosesi diawali dengan pengelaran tari-tarian serta acara pukul sapu yang dibawakan anak-anak yang berusia antara 10-12 tahun. Usai acara ini, maka prosesi puncak dari ritual baku pukul menyapu resmi dimulai. Antara 20-30 orang pemuda mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada. Mereka mengenakan warna celana dan ikat kepala seragam untuk satu kelompok.
Saling serang unjuk kebolehan, Source: terasmaluku
Masing-masing kelompok menenteng seikat lidi enau. Sambil bersorak sorai dua kelompok pemuda itu memasuki arena pertandingan. Penonton menyambutnya dengan teriakan yang lebih kencang lagi.
Sambil terus menyanyikan lagu Hatusela, lagu adat desa Mamala, para pemuda terus berjalan mengitari arena pertandingan dengan disambut sorak sorai penonton. Sepintas pemandangan tersebut mirip dengan arena gladiator pada masa Romawi.
Lidi yang dipakai sebagai senjata dalam acara tersebut adalah lidi dari daun pohon enau yang oleh orang Maluku biasa disebut pohon mayang. Setelah serangkaian acara pembukaan dan sambutan oleh para pemukan dan pemimpin masyarakat, para peserta pukul sapu berdiri berbanjar dua di tengah lapangan.
Dengan iringan tifa untuk menambah semangat, para peserta mulai diberikan kesempatan untuk saling memukul.
Sudah menjadi aturan, jika tiba giliran untuk dipukul, tangan para pemuda ini harus tetap terangkat di kepala. Secara bergantian, para pemuda ini diberikan kesempatan untuk saling pukul dan mencambuki lawannya. Sekuat tenaga, lontaran lidi enau mendarat di tubuh lawan mereka.
Bahkan suara lecutan lidi itu terdengar hingga seantero arena pertandingan. Serangan demi serangan ini membuat bulu kuduk penonton berdiri. Para peserta meringis menahan rasa sakit hingga goresan akibat sabetan lidi. Namun mereka tetap semangat karena sorakan dan terikan histeris penonton memompa adrenalin peserta untuk terus bertanding.
Badan peserta yang bertelanjang dada tanpa baju yang melindungi mulai tampak tergores dan luka-luka. Bekas-bekas cambukan kemerahan juga memenuhi sekujur tubuh mereka. Beberapa luka sabetan itu bahkan sepanjang lidi enau milik lawan mereka. Tidak sedikit dari luka gores itu mengucurkan darah.
Ini adalah dampak dari lidi yang mirip sayatan pisau silet pada kulit manusia. Wajah-wajah para peserta juga terlihat menahan rasa sakit akibat sambetan itu.
Luka-luka akibat sabetan lidi akan hilang dengan minyak gosok.
Setelah sekitar dua puluh menit saling serang, aba-aba tanda berhenti melakukan serangan mulai terdengar. Semua tubuh peserta sudah merah hitam akibat sabetan lidi. Seorang tetua adat maju ketengah lapangan pertandingan dan memisahkan seluruh peserta untuk kembali pada barisan kelompok mereka.
Penghentian serangan ini disambut gegap gempita oleh penonton. Ini menandakan seluruh rangkaian acara baku cambuk ini telah usai.
Sejurus kemudian, seluruh badan peserta diberi olesan minyak Mamala yang dipercaya sangat manjur untuk mengobati luka-luka akibat sabetan lidi atau luka memar. Biasanya setelah digosok dengan minyak ini perih dan sakit akan berangsur-angsur menghilang.
Rasa perih itu sudah hilang dan tidak akan terasa lagi dalam beberapa jam. Bahkan dalam beberapa hari kedepan, luka-luka akibat ritual ini juga akan hilang tanpa bekas. IC/IV/AND/4.
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia