• Post author:
  • Post comments:0 Comments
  • Post category:Herbal
  • Post last modified:4 Desember 2024
  • Reading time:3 mins read
source : wiki

 

Panawijyan merupakan sebuah desa pada abad ke 10 Masehi yang berstatus sima atau swatantra, yaitu desa pertanian yang dianggap maju pada masa itu. Bahkan menurut para ahli sejarah, pada akhir abad ke-12 atau awal abad ke-13 M, desa yang ada dalam kitab Pararaton Gancaran bernama “Panawijen” berkembang menjadi mandala Buddha Mahayana yang dipimpin oleh agama Pu Purwa, ayah Ken Dedes.

Saat ini kampung kuno tersebut telah berganti nama menjadi Polowijen, sebuah kecamatan di pinggiran kota Malang. Pada saat yang sama, jejak-jejak kebudayaan masa lalu, baik tradisi artifisial, nyata secara ekologis, maupun tradisi lisan yang berkaitan dengan sejarah Panawijyan dan Ken Dedes, semakin terpinggirkan dan hampir terlupakan.

Faktanya, jejak-jejak tersebut membuktikan bahwa kota Malang adalah tempat bermulanya kehidupan Ken Dedes, khususnya Sang Strinareswari. Simbol kota Malang juga  menegaskan, bahwa “fondasi pendidikan” telah berakar kuat pada Bhumi Malang sejak masa Hindu-Buddha. Patung Prajanaparamita atau Dewi Kebijaksanaan Tertinggi dan keberadaan Mandala Budha di Panawijen pada masa lalu merupakan fakta yang menunjukkan bahwa Malang telah menjadi “lembaga pendidikan” sepanjang masa. Lebih dari satu milenium tidak ada informasi tentang sejarah Polowijen, pada abad ke-10 M muncul data epigrafi yang menyebutkan “Panawijyan”, yakni prasasti Tamraprasasti Wurandungan Kanyuruhan B bertanggal 865 Saka (943 M) yang diundangkan.

peninggalan Mpu sindok, source : indozone

 

Sri Maharaja Pu Sindok

Di antara tujuh lempengan yang berukir prasasti Kanyuruhan B, ada satu yang menyebutkan Panawijyan, yaitu lempengan IV di bagian belakang (rektum). Informasi di papan terkait identifikasi sawah Sima di Panawijyan, terdiri dari tiga bagian.Pertama, 13 jong untuk sawah yang disebut “kingkaburing”, diukur tepatnya dari Kanuruhan. Kedua, Sawah Gaga meliputi area seluas 2 lahan di sebelah barat Parhyangan. Dan Ketiga menunjukkan sawa Gaga yang berada di sebelah barat Gurubhaki.

Bila disebutkan kata “Parhyangan” berarti di Panawijyan terdapat tempat memuja dewa-dewa. Sayangnya, belum ada informasi mengenai dewa yang disembah. Selain itu ada juga kata “guru bhakti” yang berarti tempat pengabdian kepada guru. Istilah tersebut memberikan gambaran tentang suatu tempat belajar, khususnya pembelajaran agama di bawah bimbingan seorang guru (brahmacarin)”, atau yang biasa disebut “mandalakadewagurwan”.

Prasasti Kanjuruhan, source : patembayan citraleka

 

Dalam kitab  Gancaran Pararaton, menyebutkan di desa Panawijen terdapat komunitas Budha Mahayana yang dipimpin oleh Pu Purwa, ayah Ken Dedes.

Yang bernama Boddhasthapaka. Secara harfiah, kata “stapaka” merujuk pada pendiri patung, pendeta yang memimpin upacara, penanggung jawab memimpin upacara pengorbanan atau bisa juga merujuk pada kepala penjaga candi. Adapun makna alternatif terakhir, kemungkinan di Polowijen atau tak jauh dari situ terdapat sebuah candi Budha yang belum ditemukan.

Prasasti Wurandungan/Kanuruhan B memuat keterangan tentang sebutan Wanua Panawjyan sebagai “Desa Perdikan (Sima)” yang bisa diganti dengan indikasi “hari lahir Polowijen”. Penetapan “negara sima Panawijayan”, yaitu tanggal Rabo Wage, tanggal 10 Paro Terang (suklapaksa), bulan Palguna tahun Saka 865, dapat diubah menjadi tanggal 7 November 944.  IC/AND/XVI/22

 

 

Komentar Untuk Panawijen, Mandala Buddha Mahayana