Banyak tersurat dalam lontar atau Purana, salah satunya Lontar Markandeya Purana pada sekitar abad ke-8 Maha Rsi Markandeya mendapatkan wahyu di Gunung Di Hyang yang pada masa sekarang di kenal sebagai Gunung Dieng di Jawa Tengah. Dari India, Maha Rsi melakukan perjalanan suci ke tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang.
Setelah mendapatkan wahyu dari Gunung Di Hyang, Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung (Raung) yang terletak di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur. Di Gunung Rawung, beliau sempat membangun pasraman hingga akhirnya melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali. Di pulau yang indah ini Maha Rsi bersama pengikutnya yang berjumlah 800 orang membuka dan membabat hutan untuk membangun pemukiman dan rumah ibadah suci. Maharsi Markandeya lantas membagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta pemukiman. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Pada masa kini lokasinya berada di desa adat Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegalalang, Gianyar.
Maha Rsi berhasil membangun banyak pura suci diantaranya Pura Murwa Bhumi dan bangunan palinggih di Tolangkir yang saat itu disebut Giri Raja ( Besakih pada masa modern). Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya, seperti Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Namun yang paling istimewa adalah Besakih yang harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.
Setelah menetap di Taro, Tegalalang, beliau terus menyebarluaskan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual Surya sewana, Bebali atau Banten, dan Pecaruan. Semua ritual itu menggunakan banten atau bebali, ajaran atau agama ini lantas lebih sebagai agama bali. Bahkan tempat tinggal dan pemukiman pengikut Rsi Markandeya juga dinamakan Bali.
Jadi nama Bali mula-mula adalah penamaan untuk daerah Tayo saja. Namun seiring perkembangan dan pejalanan waktu, seluruh pulau kemudian juga dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Rsi atau Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Maha Rsi juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi mewujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Beliau lantas menetapkan warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan yang banyak digunakan dalam hiasan di Pura Mantara lain berupa ider-ider, lelontek, dan lain sebagainya. Beliau juga mengenalkan hari tumpek kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah. Juga hari tumpek pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah. IC/AND/XIV/17