Masa keemasan Majapahit mulai terasa meredup ketika memasuki usia hampir dua abad. Hal itu diawali oleh rangkaian panjang yang sambung-menyambung dan susul-menyusul dari peristiwa perebutan takhta penuh warna kekerasan dan pertumpahan darah. Seperti bencana gempa yang meluluhlantakkan satu demi satu tiang-tiang penyangga utama kerajaan yang sudah tua dan rapuh.
Fenomena ini sebenarnya sudah terasa dan terlihat bakal menjadi batu sandungan dahsyat bagi Majapahit. Semua ini berawal dari ditangkapnya para cerdik dan bijak yang menjadi pemikir kerajaan. Ada saja alasan dan fitnah yang dilontarkan pada mereka. Para bijak bestari ini mendadak menjadi pesakitan, diasingkan, dihukum dan tidak sedikit yang dibunuh tanpa alasan yang jelas.
Berbagai kalangan di Majapahit ketika itu melihat kondisi carut marut ini sebagai akibat ketidaktegasan Prabu Stri Suhita. Tidak sedikit yang menyebut Prabu Suhita hanya ratu boneka dari Bhre Parameswara, suami tercintanya.
Secara pemerintahan, sang Prabu hampir-hampir tidak pernah menunjukkan diri pada rakyatnya, sebagai Maharatu Agung Kerajaan Majapahit. Sebaliknya pada beberapa kesempatan, Bhre Parameswara justru terlihat lebih dominan bahkan sampai mengambil keputusan-keputusan penting kerajaan. Ratu tak lebih hanya menjadi bayang-bayang suaminya.
Celakanya, Bhre Parameswara bukan orang cerdas apalagi bijaksana. Karakternya yang lemah terutama karena gaya hidupnya yang mewah membuatnya mudah disuap. Sanjungan dan harta menjadi umpan yang menjebaknya. Tidak ada lagi orang pintar dan benar yang mau mendekati Bhre Parameswara.
Gaya hidup yang gila sanjungan dan menumpuk harta membuatnya di dekati oleh orang-orang jahat, para penjilat, koruptor serta penjahat yang berjiwa bobrok dengan topeng kebangsawanan mereka.
Parameswara tidak lagi peduli dengan mentalitas dan moral abdi Negara yang menjadi bawahannya. Sepanjang mereka bisa member harta, sebejat apapun itu, mereka tetap bisa menduduki posisi-posisi penting di kerajaan. Para begundal yang pintar menyanjung dan menjilat ini akan mendapatkan perlindungan juga limpahan kekayaan dari suami ratu.
Di tengah hiruk keadaan yang menyedihkan itu, tersingkirlah satu demi satu kerabat kerajaan dan pejabat-pejabat unggul berjiwa luhur dan setia. Sebagai ganti, tampil pejabat-pejabat dari kalangan orang kebanyakan yang pintar menjilat dan piawai menyediakan kemewahan bagi atasan.
Ratu Angabhaya Bhre Nurapati dihukum mati. Mahapatih Kanaka yang berwawasan luas dan berpandangan jauh ke depan dipensiun mendadak. Ario Damar, sang pahlawan perang yang tangguh dan tak terkalahkan, disingkirkan jauh-jauh dari ibu kota.
Kebijakan menyingkirkan manusia-manusia unggul untuk diganti dengan orang kebanyakan yang mencitrai kekuasaan Prabu Stri Suhita itu, disadari atau tidak disadari telah mengakibatkan merosotnya wibawa pemerintah. Pejabat-pejabat yang berasal dari kalangan orang jahat yang pintar menjilat dan menyanjung itu umumnya manusia berjiwa kerdil yang tidak cerdas, sempit wawasan, dan picik pandangan.
Setelah Majapahit runtuh akibat perilaku elit yang mendahulukan kepentingan sempit dan lebih mementingkan hasrat-hasrat rendah kepentingan duniawi dan kemudian disusul oleh munculnya kesultanan-kesultanan Islam di Nusantrara yang kembali hancur akibat prilaku yang sama seiring dengan kedatangan bangsa Eropa. Perjalanan sejarah bangsa nusantara makin digelapkan oleh sistem nilai yang dikenalkan oleh bangsa penjajah dan mereka memporak-porandakan sistem nilai yang ada dengan sistem nilai yang lebih mementingkan materialisme. IC/AND/XI/15