Local Wisdom

Jodang, Akulturasi Jawa Cina Simbol Perayaan Daur Hidup Manusia

source : tribun

Jodang adalah sebuah peti hantaran bermaterial kayu yang penuh makna. Terdapat ujung berlubang untuk memasukkan batang bambu, sebagai alat pemikulnya. Jodang banyak digunakan  pada berbagai ritus manusia Jawa seperti   kelahiran, pernikahan, tradisi sedekah bumi, dan lain sebagainya.

Museum History of Java, Sewon, Bantul, memiliki koleksi Jodang yang berasal dari abad 17, atau era Kerajaan Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta.  Atap jodangnya dapat dibuka-tutup untuk menaruh saji-sajian kenduri, ataupun seserahan nikah. Dimensi kotak jodang ini terbilang besar, berukuran 65x70x49 cm, tergolong tipe jodang berkaki yang cukup berat jika hanya dipikul oleh dua orang pria saja.

Tidak hanya besar, jodang ini juga memiliki ragam hias, serangkai tampilan motif daun, serta ciri model konsol joglo, terpatri di puncak jodang yang tampak membentuk atap meninggi. Ornamen ukir sulur daun, maupun empat buah tiang kaki penopang kotak jodang. Sulur banyak digunakan untuk menamakan motif hias tetumbuhan yang digubah dengan bentuk dasar lengkung berpilin tegar, degnan batang-batang menjalar spiral. Sulur melambangkan kehidupan yang bertumbuh, dan lambang kesuburan. Selain sulur, ornamen bunga juga menghias sisi-sisi polos kayu jodang, meski motif bunga ini tidak penuh.

Simbol Kehidupan

Koleksi Jodang di Museum History of Java dapat ditelusuri melalui catatan sejarah.  Pada sebuah kartupos kuno di tahun 1920, tampak iring-iringan pria berjalan kaki sembari menandu bambu yang sudah dihiasi, seperti bentuk  rumah-rumahan. Tandu dondang, demikian penjelasan dalam kartu pos tersebut, nampaknnya berisi seperti nasi, sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan. Dondang merupakan bentuk tandu terbuka sebelum jodang digunakan secara luas.

Menariknya, dondang atau jodang koleksi Museum History of Java, ditampilkan sebagai tradisi selamatan yang mungkin digunakan sejak lama. Jodang disiapkan untuk prosesi lamaran dari keluarga pengantin pria untuk calon istri dan keluarganya. Jodang berisi makanan dipikul oleh dua sampai empat pria dengan berjalan kaki atau arak-arakan menuju rumah pengantin wanita.

Jodang untuk lamaran lamaran harus berisi  beragam makanan, dan yang utama aneka makanan berbahan ketan, seperti jadah, wajik, rengginang. Beras ketan yang sudah diolah ini sifatnya akan kenyal dan lengket. maknanya, sebagai perekat kedua pengantin dan antar keluarga besan agar tetap lengket dan rukun.

source : gadingsari

 

Tradisi Selikuran

Tradisi selikuran warisan Wali Songo di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta juga selalu menggunakan peti jodang, agar dapat membawa seribu tumpeng dengan cara dipanggul.  Prosesi ini diawali pembukaan gerbang keraton.  Iring-iringan berisi rombongan yang membawa seribu tumpeng atau tumpeng sewu yang diletakkan di dalam kotak kayu yang dipanggul.

Isinya adalah nasi gurih, kedelai hitam, telur puyuh, cabai hijau, kerupuk rambak dan masih banyak bahan lainnya. Bedanya, jodang milik keraton tersebut  ancak cantoka atau jodang terbuat dari material besi dan kuningan.

Akulturasi Jawa-Cina

Tandu dan jodang sejak berabad silam telah membentuk wajah akulturasi Cina dan Jawa. Salah satu bentuk akulturasi tersebut adalah perayaan Grebeg Sudiro di Kota Solo. Dalam pawai Grebeg Sudiro dilakukan Kirab Sedekah Bumi dengan membawa beraneka makanan di dalam jodang.

source : uns

 

Salah satu jodang yang mencirikan akulturasi Jawa-Cina, Saat ini bisa dilihat dan menjadi milik koleksi Gallery Wanataru, Pleret, Bantul, yang dimiliki Ibu Mursupriyani. Koleksi jodang Gallery Wanataru terbuat kayu jati yang membentuk gaya rumah tradisional Tionghoa. Ciri utamanya ialah atap berbentuk ekor burung walet sebagai gambaran kekayaan dan kemakmuran.

Uniknya pada bentuk atapnya jodang ini memiliki pintu geser di bagian depan jodang. Dimensi ruang di dalam jodang tampak cukup luas jika diletakkan aneka saji-sajian jajan pasar ataupun tumpeng sebagai bentuk ucapan syukur. IC/AND/XIII/01

Share
Published by
Wisnu