• Post author:
  • Post comments:0 Comments
  • Post category:News
  • Post last modified:24 April 2023
  • Reading time:2 mins read

 

source ; dwi

 

Pada zaman  Udayana, kehidupan di Bali sangatlah tentram. Ekonomi, politik dan agama tampak hidup dengan subur,  raja benar-benar menjaga tegaknya keteraturan dan ketertiban kehidupan masyarakat terutama soal keagamaan. Seperti diketahui  Gunapriyadarmapatni sang permaisuri adalah pemuja Siwa, antara lain dengan mendirikan patung Durghamahisa Asuramardini, Dewi Durgha yang sangat cantik yang sampai sekarang dapat dilihat  di Buruan Gianyar.

Prasasti zaman Udayana menunjukkan bahwa agama dan kepercayaan Siwa dan Budha sudah hidup berdampingan dengan rukun. Hal ini ditunjukkan pada penyebutan atau pemberian gelar pada tokoh yang berasal dari masing-masing agama yang dalam prasasti disebutkan sebagai Mpungku Sewasogata. Sebuah gelar yang terhormat untuk menyebut pendeta Siwa dan Budha.

Pada prasasti tersebut pendeta Siwa disebut dengan  Dang Acarya.  Sementara  golongan pendeta Budha disebut Dang Upadyaya. Meski hidup berdampingan dengan rukun,  namun pendeta Siwa lebih menonjol dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pendeta Budha, terutama yang berada di dalam lingkaran dalam kerajaan.

source : hindu damai

 

Salah satu Dang Acarya atau Dang Upadyaya dari kerajaan pada waktu itu Mpu Kuturan. Sebagai seorang  pendeta atau rohaniawan, Mpu Kuturan  dikenal  bersaudara kandung dengan Mpu Baradah. Dyah Ratna Manggali, anak perempuan Mpu Kuturan  kawin dengan putra Mpu Baradah bernama Mpu Bahula. Dari perkawinan ini lahirlah Mpu Tantular yang selanjutnya menurunkan Danhyang Semaranata, Danghyang Kepakisan, mereka semua adalah leluhur para Brahmanawangsa dan Ksatriya Dalem di Bali.

Mpu Baradah kemudian menjadi purohita Raja Airlangga di Jawa Timur,  datang ke Bali dibuktikan  dalam dua buah prasasti yang kini disimpan di Pura Batumadeg Besakih dan  Pura Gaduh Sakti desa Selat Karangasem. Kesamaan dari kedua prasasti itu, menyebutkan  tahun Candra Sangkala,  hiti watek nawa sanga hapit lawang” yang berarti tahun saka 929 atau 1007 M.

Mpu Kuturan maupun Mpu Baradah kini disthanakan di Pura Silayukti Teluk Padang Karangasem. Tempat yang sama yang  juga dikunjungi oleh Danghyang Nirartha ketika baru datang ke Bali. Uraian singkat ini menunjukkan  Mpu Kuturan  adalah seorang tokoh agama yang datang ke Bali pada zaman Udayana, sementara adiknya Mpu Beradah menjadi pendeta kerajaan dikerajaan Airlangga yang juga putra raja Udayana.  IC/AND/XIV/15

 

Komentar Untuk mpu kuturan leluhur brahmanawangsa