Pada zaman Udayana, kehidupan di Bali sangatlah tentram. Ekonomi, politik dan agama tampak hidup dengan subur, raja benar-benar menjaga tegaknya keteraturan dan ketertiban kehidupan masyarakat terutama soal keagamaan. Seperti diketahui Gunapriyadarmapatni sang permaisuri adalah pemuja Siwa, antara lain dengan mendirikan patung Durghamahisa Asuramardini, Dewi Durgha yang sangat cantik yang sampai sekarang dapat dilihat di Buruan Gianyar.
Prasasti zaman Udayana menunjukkan bahwa agama dan kepercayaan Siwa dan Budha sudah hidup berdampingan dengan rukun. Hal ini ditunjukkan pada penyebutan atau pemberian gelar pada tokoh yang berasal dari masing-masing agama yang dalam prasasti disebutkan sebagai Mpungku Sewasogata. Sebuah gelar yang terhormat untuk menyebut pendeta Siwa dan Budha.
Pada prasasti tersebut pendeta Siwa disebut dengan Dang Acarya. Sementara golongan pendeta Budha disebut Dang Upadyaya. Meski hidup berdampingan dengan rukun, namun pendeta Siwa lebih menonjol dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan pendeta Budha, terutama yang berada di dalam lingkaran dalam kerajaan.
Salah satu Dang Acarya atau Dang Upadyaya dari kerajaan pada waktu itu Mpu Kuturan. Sebagai seorang pendeta atau rohaniawan, Mpu Kuturan dikenal bersaudara kandung dengan Mpu Baradah. Dyah Ratna Manggali, anak perempuan Mpu Kuturan kawin dengan putra Mpu Baradah bernama Mpu Bahula. Dari perkawinan ini lahirlah Mpu Tantular yang selanjutnya menurunkan Danhyang Semaranata, Danghyang Kepakisan, mereka semua adalah leluhur para Brahmanawangsa dan Ksatriya Dalem di Bali.
Mpu Baradah kemudian menjadi purohita Raja Airlangga di Jawa Timur, datang ke Bali dibuktikan dalam dua buah prasasti yang kini disimpan di Pura Batumadeg Besakih dan Pura Gaduh Sakti desa Selat Karangasem. Kesamaan dari kedua prasasti itu, menyebutkan tahun Candra Sangkala, hiti watek nawa sanga hapit lawang” yang berarti tahun saka 929 atau 1007 M.
Mpu Kuturan maupun Mpu Baradah kini disthanakan di Pura Silayukti Teluk Padang Karangasem. Tempat yang sama yang juga dikunjungi oleh Danghyang Nirartha ketika baru datang ke Bali. Uraian singkat ini menunjukkan Mpu Kuturan adalah seorang tokoh agama yang datang ke Bali pada zaman Udayana, sementara adiknya Mpu Beradah menjadi pendeta kerajaan dikerajaan Airlangga yang juga putra raja Udayana. IC/AND/XIV/15