Awalnya sistem jual beli yang sangat sederhana adalah tukar menukar. Sistem ini lebih dikenal dengan istilah barter, yaitu tukar menukar suatu benda dengan benda atau barang lain. Aktivitas ini dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sama-sama setuju untuk melakukan tindakan ini.
Dalam sejarah perekonomian menyebutkan sistem barter merupakan bentuk awal dari kegiatan ekonomi antara satu individu dengan individu yang lain dalam masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh sebab itu timbullah tukar menukar kebutuhan di antara anggota masyarakat. Tukar menukar ini didasarkan atas permufakatan kedua belah pihak, sehingga perumusan nilai tukarnya hanya didasarkan atas kebutuhan konsumtif dari benda yang ditukarkan.
Sistem barter ini pada mulanya terjadi pada masyarakat yang masih terbatas kebutuhannya. Akan tetapi sistem ini masih berlangsung terus hingga sekarang. Di dalam masyarakat Jawa sekarang masih dikenal istilah urup-urupan, artinya tukar menukar barang tanpa terikat oleh harga atau uang.
Seiring perkembangan zaman, barter atau tukar menukar ini semakin ditinggalkan karena meningkatnya kebutuhan hidup manusia. Menukar barang dipandang sebagai hal yang sangat tidak praktis, karena tidak memiliki patokan atau standar pasti. Muncullah benda atau alat yang dapat mengakomodir kebutuhan itu yang bernama uang.
Awalnya uang diperlakukan sama, ditukar dengan mata uang dari jenis lain. Tukar menukar uang hanya untuk ingin tahu atau curiosity atau hanya untuk kenang-kenangan alias souvenir. Namun lama kelamaan jumlah yang beredar semakin banyak sehingga berkembang penggunaannya sebagai alat tukar yang utama sekaligus sebagai dasar pembayaran.
Bentuk mata uang kuna yang ditemukan di Jawa pada dasarnya ada tiga macam, yaitu mata uang yang berbentuk setengah bulatan, mata uang yang berbentuk bulat, dan mata uang yang berbentuk
segi empat. Jika dilihat dari bahannya maka mata uang tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis, yaitu mata uang emas, perak, tembaga, dan timah. Mata uang -mata uang tersebut telah dikenal sejak zaman Klasik Tua atau Mataram Kuna, dan beberapa di antaranya terdapat tanda tera dengan huruf ma dalam abjad Prenagari. Ma adalah kependekan dari masa, salah satu satuan uang kuna.
Berita Cina menyebutkan, di Jawa, perak telah dipotong-potong untuk dijadikan uang. Para petugas pengawas perdagangan mengambil satu ch’ten (=1/10 tael) emas dari jumlah padi sebanyak 2,2 pikul. Data prasasti banyak menyebutkan satuan mata uang baik dari emas, perak maupun besi. Dalam prasasti dijumpai besi (wst) dengan satuan that. Mungkin yang dimaksud adalah mata uang besi satu ikat (sa-ikat), menjadi seket dalam bahasa Jawa sekarang yang berarti satu ikat terdiri dari 50 buah (uang besi). Mungkin uang tersebut adalah uang Cina (kepeng) yang diikat tiap 50 buah.
Mengenai mata uang yang sering disebutkan dalam prasasti, W.F. Stutterheim telah mencoba menyelidikinya. Untuk mata uang emas dikatakan bahwa pada umumnya uang emas ditandai dengan singkatan atau kependekan yaitu: su (=suwarna), m?. (m?sa), ku (kupang). Adapun cara perbandingan nilainya adalah sebagai berikut : 1 suwarna (=1 tahil) = 16 masa = 64 kupang. Berdasarkan perbandingan berat, maka 1 suwarna = 0.038601 kg; 1 masa = 0.002412 kg; 1 kupang = 0.000603 kg; sedangkan 1 tabil 1/16 kati.
Data tentang mata uang atau alat tukar yang berlaku dalam perdagangan pada masa Majapahit dapat diperoleh dari beberapa sumber. Dari sumber tertulis (berita Cina dan Eropa) dapat diketahui bahwa pada masa Majapahit telah dikenal berbagai jenis mata uang yang berfungsi sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan. Suatu hal yang menarik perhatian adalah dalam kehidupan perekonomian Majapahit ternyata justru mata uang asing (mata uang Cina) mempunyai peranan yang lebih besar daripada uang lokal. IC/AND/XII/17