Jamu adalah minuman kesehatan tradisional yang masih eksis sampai sekarang. Jamu jadi representasi kearifan lokal yang tetap berkembang di masyarakat karena manfaatnya menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa menimbulkan efek samping.
Masyarakat Jawa kuno telah mengenal obat tradisional sejak masa klasik, yaitu pada periode Kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia. Hal tersebut dapat diketahui dari data-data arkeologi. Relief Kharmawibhangga di Candi Borobudur, menceritakan beberapa adegan pertolongan si sakit, rasa syukur pada kesembuhan, serta proses kelahiran yang dibantu oleh seorang dukun beranak. Relief tersebut berangka tahun 722 Masehi, peninggalan Kerajaan Mataram masa Raja Syailendra.
Pengetahuan kesehatan ini terus berkembang hingga pada masa Kerajaan Majapahit, lebih dari enam ratus tahun kemudian. Hal ini dibuktikan di Prasasti Madhawapura, yang menceritakan adanya pembagian profesi peracik jamu yang disebut “Acaraki.”Acaraki memiliki standar yang sangat ketat, berpuasa dan meditasi saat menjalankan profesinya. Semua itu dilakukan untuk memberikan energi positif bagi obat-obatan atau jamu yang diraciknya.
Dan minum jamu adalah sebuah kebiasan bagi masyarakat Majapahit pada zamannya. Relief di Candi Surowono, Candi Rimbi, dan kutipan dari Kitab Korawacrama semakin memperkuat pembuktian bahwa minuman jamu sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat.
8 jenis olahanjamu yang diperjual belikan yaitu kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, pahitan, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup, dan sinom adalah lambing dari Surya Majapahit. . Makna tersebut dikatkan dengan kehidupan sehari-hari yang dimulai dari rasa manis-asam, kemudian sedikit pedas-hangat, pedas-pahit, rasa tawar, dan diakhiri dengan rasa manis kembali dengan tujuan agar manfaat yang dirasakan berkhasiat bagi tubuh.
Masyarakat Majapahit abad ke-14 Masehi telah mengolah aneka tanaman menjadi minuman kesehatan tradisional berwujud jamu. Masyarakat yakin, jamu dapat menyembuhkan beberapa jenis penyakit. Seluruh masyarakat mulai para petinggi kerajaan hingga orang biasa mengkonsumsi jamu. Jamu juga diperjualbelikan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai acaraki. Untuk alat-alat yang digunakan untuk membuat jamu adalah pipisan, gandik, alu, lumpang, anglo, dan wadah.
Namun pada era Majapahit tidak banyak sumber sejarah yang menyebutkan bagaimana satuan ukur atau takaran dalam membuat jamu belum ditemukan. Satuan atau takaran itu baru muncul dalam naskah Serat Centhini atau Suluk Tambangraras. Namun para ahli memperkirakan satuan dan takaran pada periode sebelumnya kurang lebih sama. IC/AND/XV/10