Historica

Koleksi Kitab Lontar Berhuruf Arab Pegon di Museum Islam Indonesia Lamongan

Kerajaan Mughal atau Mughal Baadshah  adalah sebuah kerajaan yang berkembang dan menguasai Afganistan, Baluchistan, dan sebagian besar anak benua India pada tahun 1526 hingga 1858. Babur, seorang keturunan Mongol, mendirikan kerajaan tersebut pada tahun 1526. Kata Mughal adalah versi Indo-Arya dari bahasa Mongol. Dinasti Mughal bertahan selama kurang lebih tiga abad (1526-1858 M) di India.

Pada masa ini Islam memberi warna tersendiri bagi sebagian besar masyarakat yang menganut agama Hindu. Sejauh ini gaung keagungan Islam warisan Dinasti Mughal belum terdengar. Namun lahirnya Negara Islam Pakistan tidak lepas dari perkembangan Islam pada masa dinasti tersebut. Peninggalan kejayaan Dinasti Mughal dapat dilihat pada bangunan-bangunan bersejarah yang masih bertahan hingga saat ini. Misalnya Taj Mahal di Agra.

Dengan berkembangnya ekonomi Kekaisaran Mughal pada abad ke-17, kemajuan terjadi dalam bidang pengetahuan, seni, dan budaya. Dalam bidang linguistik, Akbar menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa resmi, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bahasa kaum bangsawan, dan bahasa Persia sebagai bahasa keraton dan sastra.

Selain itu, Akbar mengubah ketiga bahasa tersebut ditambah bahasa Hindu dan mengubahnya menjadi bahasa Urdu. Dalam bidang filsafat cukup maju dan salah satu tokohnya adalah Akbar sendiri, sedangkan sufi yang terkenal pada masa itu adalah Mubarok, Abdul Faidhl dan Abul Fadl. Salah satu ciri kesusastraan pada masa Kerajaan Mughal adalah penulisan naskah pada daun lontar yang sering disebut kitab lontar.

Penggunaan daun lontar sebagai alat tulis konon sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu di India dan berlanjut pada masa kerajaan Islam Mughal. Pembuatan daun lontar sebagai alat tulis di Bali berawal daun lontar dipetik dari pohonnya. Pemanenan biasanya dilakukan pada bulan Maret-April atau September-Oktober, karena pada saat tersebut daun sudah tua. Daunnya kemudian dipotong kasar dan dijemur. Proses ini mengubah warna daun dari hijau menjadi kekuningan.

Daun tersebut kemudian direndam dalam air mengalir selama beberapa hari lalu dibersihkan dengan tisu atau sabut kelapa. Kalau dulu daunnya kering lagi, tapi sekarang kadang daunnya dipotong dan diikat. Kemudian tongkatnya juga dipotong dan dibuang. Setelah kering, daunnya direbus dalam panci besar yang dicampur dengan beberapa bumbu. Tujuannya untuk membersihkan daun dari sisa kotoran dan menjaga struktur daun agar tetap terlihat bagus.

Setelah kurang lebih 8 jam direbus, daunnya diangkat dan dikeringkan kembali di atas tanah. Kemudian pada sore harinya diambil daunnya dan tanah dibawah daun dibasahi dengan air, kemudian daun tersebut dimasukkan kembali agar tetap lembab dan lurus. Kemudian keesokan harinya diambil dan dibersihkan dengan kain. Daun tersebut kemudian ditumpuk dan ditekan ke dalam alat yang disebut pamlagbagan.

Alat ini berupa penjepit kayu yang berukuran sangat besar. Daun ini diperas selama kurang lebih enam bulan. Tapi setiap dua minggu sekali dikeluarkan dan dibersihkan. Setelah itu daun dipotong kembali sesuai ukuran yang diinginkan dan dibuat tiga lubang: di ujung kiri, tengah dan kanan. Jarak lubang tengah ke ujung kiri harus lebih pendek dibandingkan ke ujung kanan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda untuk penulisan selanjutnya. Tepi daun lontar juga dicat, biasanya berwarna merah. Lontar yang sudah siap untuk ditulis disebut pepesan Bali dan daun lontar disebut lempir. Setelah daun lontar siap untuk ditulisi.

Kitab Lontar yang ditulis dengan huruf kaligrafi Pegon ini sangat langka dan jarang ditemukan, dan diperkirakan berumur lebih dari 1.000 tahun. Buku tersebut berisi ajaran Islam yang ditulis di atas daun lontar. Buku daun lontar ini terbuat dari daun lontar atau pelepah lontar yang dikeringkan.

Daun lontar digunakan sebagai bahan menulis di anak benua India dan Asia Tenggara sejak abad ke-5 SM, dan mungkin jauh lebih awal. Jika dicermati, Pegon Arab yang ditulis dalam aksara Lontar menggunakan aksara Farisi. Farisi Khat, sesuai dengan namanya, merupakan aksara Arab yang berasal dari wilayah Persia (sekarang Iran), sekitar abad ke-7 Masehi. Khat ini umumnya dianggap dan digunakan sebagai aksara kaligrafi di Iran (Iran), Turki dan India.

Dalam penulisannya, khat ini tidak memerlukan huruf vokal atau tanda baca, namun di kalangan orang Farisi ketebalan setiap huruf sangat bervariasi, sehingga dalam penulisannya setidaknya diperlukan dua buah pena, yaitu yang kecil dan yang besar. Sedangkan bahasa Urdu India digunakan dalam naskah kitab lontar. Urdu India adalah bahasa yang muncul dari kedatangan umat Islam dari Timur Tengah, Turki dan Mongol. Bahasa Urdu ada karena Kekaisaran Mughal dan kerajaan Muslim lainnya di India. Bahasa ini digunakan oleh sekitar 100 juta komunitas Muslim di Pakistan dan India. Bahasa Urdu sebenarnya mirip dengan bahasa Hindi karena memiliki akar kata yang sama yaitu Sansekerta, yang merupakan ibu dari semua bahasa di anak benua tersebut.IC/AND/XVIII/17

Share
Published by
Wisnu