Prosesi memasuki tahap utama, yakni mengantarkan tengkorak ke geriten. Prosesi ini hanya boleh dilakukan kalimbubu. Kerabat berdiskusi untuk menentukan siapa wakil kalimbubu yang akan membawa keranjang. Perjalanan dari kurung manik ke Bukit Ndaholi menggunakan kendaraan selama 20 menit.
Sepanjang perjalanan alat musik tradisional terus dimainkan. Keluarga mengaku merasakan kekuatan magis yang berasal dari keranjang anyaman bambu sejak keluar dari kurung manik. Hal itu kian terasa begitu keranjang diletakkan di pangkuan Delta Sebayang, keturunan almarhum saat duduk di kursi depan pick-up yang membawanya.
“Tengkorak itu bergerak. Sepanjang perjalanan, saya berdoa. Saya bilang kepada leluhur bahwa ini penghormatan untuknya. Semua bermaksud baik,” kata Delta Sebayang. Geriten itu berdiri kokoh di atas Bukit Ndaholi. Geriten dibangun di atas pusara tempat kerangka Raja Senina Lingga dikuburkan. Empat tiang penyangganya terbuat dari beton bertulang. Tepat ditengah-tengah diagonal plafon, dibuat lubang berukuran 30 sentimeter persegi untuk masuk ke loteng. Di dalamnya terdapat brankas untuk menyimpan tengkorak. Sebelum wafat, Raja Senina Lingga berwasiat agar dimakamkan di Uruk Gungndaholi atau Bukit Ndaholi.
Delta Sebayang lantas meletakkan keranjang anyaman di atas kain ulos yang dikembangkan di lantai geriten. Para kerabat dipanggil secara bergulir untuk melakukan penghormatan terakhir. Tengkorak sang Raja yang dibungkus kain putih, mangkuk, piring, serta tikar anyaman pandan dimasukkan ke brankas. “Kunci brankas dipegang oleh lima orang,” terang Adri, salah seorang kerabat. Dia meyakini tidak ada kerabatnya yang memindahkan tengkorak sang Raja. “Taruhannya nyawa,” tandasnya. Sebelum kembali ke Jambur, para kerabat menggelar tarian landek (tarian Karo) sebagai penghormatan terakhir. Seluruh kerabat melakukannya secara bergiliran.
Penghormatan Tertinggi
Bagi masyarakat Karo, tradisi ngampekken tulan-tulan merupakan prestise. Ini merupakan tradisi ritual yang sudah sangat melekat pada warga setempat sebelum ajaran agama masuk ke Tanah Karo.
Membilas tulang belulang leluhur menjadi puncak acara misitis ini, source : jefri tarigan
Ngampeken tulan-tulan menurut tradisi Karo dianggap sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada leluhur. Ritual ini bisanya digelar setelah tiga tahun jenazah dimakamkan. Waktu tersebut ditentukan berdasarkan proses pembusukan jenazah. Berbeda dengan proses pemakaman awal – ketika jasad masih terbungkus daging dan kulit – pada ngampeken tulan-tulan, tulang-tulangnya tidak ditanam lagi, tapi ditempatkan di atas plafon geriten.
Kepercayaan ini ada kaitannya dengan perspektif kosmologis orang Karo terhadap jasad orang yang meninggal. “Doa orang Karo ketika menangisi jenazah, rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, daging jadi tanah, darah jadi air, napas jadi angin, roh jadi begu. Masyarakat Karo, tanpa sadar, melihat manusia yang meninggal itu hidup kembali,” ujar Bengkel Ginting, Sosiolog Universitas Sumatera Utara.
Bengkel Ginting menjelaskan, upacara ngampekken tulan-tulan biasanya dilakukan oleh keturunan orang yang meninggal ketika perekonomiannya sudah mapan. Di ritual ngampekken tulan-tulan yang digelar untuk menghormata Raja Senina Lingga salah seorang kerabat menyebut angka Rp. 500 juta. Biasanya, seluruh biaya hanya ditanggung golongan sembuyak.
Kepala yang Memisah dari Tubuh
Raja Senina Lingga wafat pada usia yang sangat uzur, 120 tahun! Konon ini karena kesaktian yang dimilikinya. Kesaktian Raja Senia Lingga syahdan diwarisi secara langsung dari ayahnya, Raja Natang Negeri. Raja Natang Negeri adalah salah satu putra Raja Linge I dari Kerajaan Linge (Lingga) di Tanah Gayo, Aceh. Kerajaan Linge (Lingga) di Tanah Gayo, didirikan orang Batak pada masa Kerajaan Perlak diperintiah Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah (abad ke-11).
Raja Linge I memiliki enam anak. Selain anak perempuan dan anak bungsunya, anak-anak Raja Linge I pergi dari istana. Natang Negeri merantau ke Tanah Karo. Ia bermukim di Desa Lingga dan mendirikan Kerajaan Sibayak Lingga. Di usia remaja, ia menikahi tiga gadis Beru Sebayang, Beru Ginting Rumah Page, dan Beru Tarigan Nagasaribu. Dari Beru Sibayang, lahir seorang putra, Sibayak Lingga (Raja Senina Lingga).
Ketika Senina Lingga menjadi penguasa, raja Kesultanan Aceh, yang merupakan kerabatnya, memberikan pisau Bawar dan bendera bertuliskan kalimat syahadat. “Sebagai tanda dia saudara dari Sultan Iskandar Muda dan keturunan Raja Linge. Benda pusaka itu masih kami pegang (simpan) sebagai bukti keluarga kami,” terang Delta Sebayang.
Ritual mahal yang harus dilakukan anak cucu sang raja, source : jefri tarigan
Dengan pisau Bawar itulah, kesaktian Raja Senina Lingga bertambah. Di masa hidupnya, raja itu menjadi pentolan dalam menyerang dan mengusir serdadu Belanda. Dalam adu strategi perang, Raja Senina Lingga tergolong piawai. Sang Raja selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda. Pertempuran demi pertempuran dilakukan raja itu hingga ke Desa Bintang Meriah dan Kutacane, Aceh. Raja Senina Lingga meninggal pada usia 120 tahun. Sebelum mangkat, ia berpesan agar dimakamkan di Bukit Ndaholi, Desa Bintang Meriah.
Dalam upacara kematian yang berlangsung empat hari empat malam, jenazahnya diarak ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sibayak Lingga. Saat menuju tempat pemakaman, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Hal ini terjadi karena kesaktiannya. Tubuhnya dimakamkan di tanah, sedangkan kepalanya disimpan di geriten yang dibangun di atas makamnya. IC/IV/AND/2
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia