Historica

7 Strata Sosial Masyarakat Majapahit, Makin Kaya Makin Rendah

Pada masa gemilang Majapahit, ada 7 lapisan kelompok warga, Cara pemilahan strata sosialitu juga terbilang sangat unik. Makin jauh atau sedikit keterikatan kebutuhan pada materi, makin tinggi kastanya. Sebaliknya, jika keduniawiannya tinggi, mereka adalah orang yang berkasta rendah.

Golongan tertinggi dan paling dihormati  di Majapahit adalah para rohaniawan alis para Brahmana atau Mpu. Mereka hidup menyepi di hutan-hutan, di gunung-gunung, di gua-gua yang jauh dari keramaian urusan duniawi. Mereka memiliki tugas yang sangat mulia,  membimbing masyarakat yang ada di bawahnya.

Lapisan berikutnya adalah golongan Ksatria. Mereka ini abdi negara, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kekayaan pribadi, mereka mengabdi pada negara dan hidup dari Negara. Seluruh kehidupannya dibiayai oleh kerajaan seperti  kebutuhan makan, pakaian, dan diberi rumah dan lain sebagainya.

Raja dan keluarganya, para menteri dan pembesar kerajaan, para raja bawahan atau adipati termasuk di dalamnya kalangan tentara kerajaan. Jika mereka berhasil membawa  pampasan perang, kekayaan itu menjadi milik Negara.

Ksatria yang diketahui memiliki rumah pribadi yang besar atau seorang yang ksatria kaya, maka dia disebut ksatria panten. Yaitu ksatria yang harus dihindari atau dikucilkan. Masyarakat tidak boleh melayani orang seperti itu. Negara harus bersih dari orang yang mempunyai pamrih pribadi.

Golongan selanjutnya  adalah Waisya. Mereka biasanya adalah kaum  petani, peternak atau peladang. Mereka ini  lebih rendah dibandingkan dua golongan yang disebutkan di atas. Kaum petani dan peternak  ini dianggap punya keterikatan pada materi keduniawian, sebab mereka punya rumah, sawah, tanah atau pekarangan, ternak, atau  aset kekayaan yang dianggap sebagai  manifestasi hasrat keduniawian. Kedudukan mereka tetap dihargai, karena kaum waisya  yang menjamin ketersediaan pangan seluruh warga.

 

source : catatanmaiyah

 

Setelah itu adalah Sudra, yaitu para saudagar, para rentenir, para tuan tanah, atau mereka yang memiliki kekayaan berlebihan. Mereka ini tidak boleh bicara tentang agama. Mereka tidak boleh membahas kitab suci. Menurut pandangan yang berlaku ketika itu  itu, menumpuk kekayaan adalah manifestasi nafsu atau hasrat akan keduniawian.

Di bawah Sudra adalah golongan yang disebut Candala,  mereka yang berprofesi sebagai jagal dan algojo negara.   Mereka ini dianggap  rendah kastanya  karena kehidupan mereka  harus membunuh sesama makhluk.  Termasuk golongan ini adalah mereka yang kerjanya mengkremasi mayat.

Berikutnya  golongan Mleccha, yaitu orang-orang asing yang tinggal di Majapahit. Semua orang asing dimasukan golongan wong kiwahan, yang artinya orang rendahan atau pelayan, seperti budak atau mungkin juga tawanan perang. Mereka bekerja sebagai pelayan. Dan tidak boleh lebih dari itu. Saat itu jika ada pribumi bekerja sebagai pelayan, akan diadili. Karena tidak boleh pribumi bekerja sebagai pelayan. Penduduk asli diberi kedudukan sebagai wong yekti, orang  mulia atau orang agung.

Terakhir,  golongan Tuccha yaitu orang-orang yang  cinta materi duniawi dan yang tidak mau memahami hak orang lain. Yang termasuk golongan ini di antaranya: para penipu, maling, begal, rampok, dan perompak. Mereka ini dianggap paling rendah martabatnya sebab untuk hidup saja melanggar hak-hak orang lain. IC/AND/XI/10

 

Share
Published by
Wisnu