Pasca masa gilang gemilangnya, secara perlahan Majapahit mengalami masa suram kemuduran hingga keruntuhannya. Banyak factor penyebabnya, namun para ahli sepakat penyebab utama dari kondisi tersebut adalah intrik politik para pejabat dan perang saudara.
Dari banyak factor kemuduran itu adalah Majapahit berkembang sangat besar dengan wilayah yang sangat luas. Hal ini menjadi keuntungan sekaligus kerugian. Wilayah yang sangat luas membutuhkan biaya yang sangat besar bagi militernya. Selain itu regenerasi pimpinan yang tidak memadai dengan banyaknya pejabat yang tidak mampu memimpin.
Dalam catatanya, Tome Pires menyebutkan jika banyak dari para pembesar dan raja-raja kecil di wilayah bawah kendali Majapahit terlalu percaya diri dan terlalu hidup bersenang-senang. Mereka seperti sedang terlena karena pencapaian pada fase kedua Majapahit. Muncul banyak intrik politik yang berujung pada perebutan kekuasaan dilingkungan internal istana.
Munculnya paham atau ajaran agama baru yakni Islam yang banyak mendapat tentangan dari kalangan istana meski tidak seluruhnya. Islam mulai tumbuh dan berkembang di pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa. Tome Pires menyebutkan penganut agama baru semakin besar dan pengaruh politiknya semakin kuat pula sehingga membawa ketidakstabilan pada kehidupan kenegaraan Majapahit. Hingga munculnya perlawanan dari Kesultanan Demak yang didirikan oleh Raden Patah, yang masih anak Raja Majapahit pada 1475.
Perang saudara yang berlarut-larut hingga mengakibatkan turunnya wibawa Majapahit. Hal ini menyebabkan banyak wilayah taklukan memilih berdiri atau memisahkan diri karena kontrol politik yang lemah dari raja. Raja Majapahit hanya simbol saja karena pemegang kekuasaan tertinggi ada pada para patih.
Perang Demak lawan Majapahit membuat semakin memperlemah Majapahit hingga pada masa Demak dipimpin Sultan Trenggana, Majapahit jatuh dan istananya dibumi hanguskan. Sisa-sisa prajurit dan bangsawan Majapahit banyak yang melarikan diri Gunung Penanggungan dikejar dan dihabisi. Mereka yang selamat adalah yang melarikan diri ke Gunung Bromo dan Bali.
Pada 1522 ilmuwan dan penjelajah dari Venesia, Italia bernama Antonio Pegafetta menulis bahwa di Jawa sudah tidak ada lagi kekuasaan Kerajaan yang bernama Majapahit. Dan Prasasti Pabanolan yang berangka 1541 Masehi yang dianggap sebagai prasasti terakhir dari masa Majapahit. Prasasti ini bukan dikeluarkan oleh Raja tapi oleh sekelompok orang atau seniman yang bermukim di lereng barat Gunung Bromo, tepatnya di Desa Gubuk Lakah, Kabupaten Malang. Prasasti itu menceritakan kisah panji yang hingga sekarang masih lestari dijadikan sebagai pertunjukkan tari topeng oleh masyarakat Malang, Jawa Timur.
Prasasti itu juga menyebutkan di lokasi yang dimaksud merupakan tempat peribadatan suci di Wilwatikta atau Majapahit. Jadi meskipun pusat kerajaan sudah tidak ada, di wilayah pedalaman masih tersisa peninggalan peninggalan dan tempat tempat ibadah kerajaan. Hingga pada 1815 peneliti Belanda, Wardenaar mencari dan mengunjungi bekas reruntuhan kerajaan Majapahit di Trowulan berbekal peta dari raja Bali, namun kawasan Trowulan sudha berubah menjadi hutan dan sedikit pemukiman dan pertanian masyarakat. IC/AND/XV/27