Piring keramik dengan kaligrafi di Museum History of Java, menjadi tanda era kedatangan Laksamana Cheng Ho di Nusantara. Diperkirakan hitungan ini dimulai antara abad ke-14 hingga 15. Piring keramik kuno dibuat pada era Dinasti Ming China, punya keistimewaan bertuliskan ayat-ayat Al-Quran pegon (pego) atau huruf Arab Hijaiyah, dengan warna merah marun.
Laksamana Cheng Ho
Sebenarnya peradaban Islam di Tiongkok sudah ada dan dapat ditelusuri semenjak era dinasti Tang (618-907). Hal ini dapat dilihat dari makin maraknya pedagang arab dan Persia yang singgah di Pelabuhan-Pelabuhan China. Selain itu persebaran ini juga dilakukan melalui jalur darat atau yang lebih dikenal sebagai jalur sutera.
Pada era setelahnya, peradaban Islam di Tiongkok ini melahirkan seorang panglima yang sekaligus penjelajah muslim yang mengarungi samudera dunia. Baliau bernama Laksamana Zheng He, namun di Nusantara lebih dikenal sebagai Cheng Ho. Lahir pada akhir abad ke-14, di sebuah kota kecil di wilayah Yunnan dari keluarga Hui, yaitu kelompok etnis Tionghoa Muslim.
Nama lahir tokoh ini sebenarnya ‘Ma He’. Di Tiongkok, masyarakat muslim yang menggunakan nama Ma sebagai sebutan pendek untuk “Muhammad”. Keluarga Hui mendidik Zheng He untuk mencintai ilmu pengetahuan. Dan dari pengaruh ini membuat Ma He muda termotivasi untuk mengetahui dunia luar.
Mulai sekitar 1405 hingga 1433, Ma He atau Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi maritim besar. Dia melintasi samudera luas dan lautan beberapa kali. Dari Laut Cina Selatan hingga pantai timur Afrika, melewati Samudera Hindia, Teluk Persia, dan Laut Merah. Perjalanan ini hampir menyentuh separuh dunia, sebuah capaian yang luar biasa pada masa itu.
Pada abad ke 15, Cheng Ho memulai pelayaran panjang menuju Asia Tenggara. Di Nusantara Islam telah masuk lewat pedagang dari Gujarat India dan Timur Tengah. Sama seperti para penyebar islam pendahulunya, Cheng Ho juga menyebarkan Islam secara damai. Tak lupa dalam kunjungan itu rombongan muhibah dari Tiongkok membawa berbagai benda-benda mahal seperti aneka keramik berbagai ukuran serta benda-benda mahal lainnya sebagai hadiah untuk para raja Nusantara. Para pendatang muslim Cina yang mengembangkan Islam di pesisir utara pulau Jawa pun dianggap banyak mendorong kemajuan Islam.
Kaligrafi Pada Piring Keramik
Hal unik dari sejarah Islam yang berkembang di Nusantara ini adalah kaligrafi Arab Pegon (Pego). Menurut kajian Profesor Abdul Malik dari UIN Malang, Arab Pegon (Pego) berasal dari huruf Arab Hijaiyah, yang kemudian disesuaikan dengan aneka aksara Nusantara terutama Jawa.
Diyakini huruf Pegon dikembangkan pada 1400 oleh Sunan Ampel atau teori lain dikembangkan oleh murid Sunan Ampel, Imam Nawawi asal Banten. Menurut Prof. Abdul Malik, pegon tidak selalu berbentuk khot atau kaligrafi. Sebenarnya Khat Islam, atau khat Arab, merupakan seni sastra dari kawasan yang memiliki warisan budaya Islam. Seni ini berasaskan tulisan Arab, digunakan untuk menyebut Asma Allah, sebab mereka tidak boleh melambangkan Tuhan menggunakan gambar.
Khat Nasakhim
Khat Nasakhim sendiri satu jenis khat yang paling mudah dibaca dan dimengerti. Khat paling sering dipakai atau membaca tulisan ayat pada musah Al’Quran selain itu juga digunakan untuk menyalin teks ilmiah. Ibnu Mul’qah adalah peletak dasar seni Khat Nasakhi yang terus disempurnakan dan mencapai puncaknya pada zaman Bani Abbas.
Kajian Piring Berhuruf Kaligrafi Pegon
Seni tulisan Arab Pegon ini menjelaskan tentang piring bersejarah dan menjadi asesoris yang indah
Khat Diwani
Sementara salah satu gaya khat yang diciptakan masyarakat Turki Usmani, berkembang luas di akhir abad 15 yang dipelopori oleh Ibrahim Munif seorang kaligrafer asal Turki. Seni Khat Diwani mulai populer setelah era penaklukan Kota Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al Fatih pada 875 H. Khat Diwani dinisbahkan kepada kantor-kantor pemerintah, dan sejak saat itu cara penulisan tersebut digunakan dan menyebar ke seluruh masyarakat. IC/AND/XIII/03