Sosok Gajah Mada diperkirakan lahir pada 1290 dan wafat pada 1364. Tidak banyak yang tahu jika mahapatih ini memiliki nama asli Jirnnodhara. Menurut beberapa sumber puisi, kitab dan prasasti, Gajah Mada memulai karir militernya pada 1313 saat menjadi pengawal raja Jayanegara. Selain menjadi pelindung raja, Gajah Mada juga mampu menyusun strategi untuk memadamkan dan menumpas pemberontakan yang merongrong kewibawaan Majapahit.
Beberapa ahli sejarah menyebut nama Gajah sebagai nama depan itu mengacu pada binatang besar yang sangat ditakuti sekaligus disegani oleh bintang lain juga. Namun arti simbolnya dalam mitologi hindu adalah gajah adalah wahana atau hewan tunggangan (kendaraan) Dewa Indra. Tidak sedikit juga yang menghubungkan sebutan gajah ini dengan Ganesa, dewa yang berbadan manusia dengan kepala gajah. Sementara kata mada menurut bahasa Jawa kuno adalah mabuk.
Jika digabungkan dan diartikan secara bebas, maka nama tersebut adalah “Gajah Mabuk.” Tentu saja bukan dalam konotasi negatif, namun justru menunjukkan kekuatannya. Karena jika gajah dalam kondisi mabuk maka tidak ada orang atau kekuatan yang mampu menandinginya. Sehingga para ahli lantas punya 2 tafsir. Gajah Mada menganggap dirinya sebagai wahana raja sekaligus eksekutor perintah atau kehendak raja sebagaimana gajah Airawata tunggangan Dewa Indra. Tafsir kedua adalah gajah mabuk yang tak ada orang yang berani menghalanginya.
Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, Gajah Mada adalah orang yang memerintahkan pembangunan Candi Singhasari untuk memuliakan Raja Kertanegara. Berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan artefak, ada dua alasan besar mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi. Pertama Gajah Mada mencari legitimasi untuk mendukung kampanye perluasan wilayah Majapahit melalui Sumpah Palapa. Seperti diketahui, Kertanegara adalah panutan Gajah Mada dalam penaklukan wilayah dengan wawasan Dwipantara Mandala semasa kerajaan Singhasari.
Alasan kedua, agaknya, Gajah Mada masih ada pertalian darah dari Raja Kertanagara. Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika melawan pasukan Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon anak dari salah satu selir Kertanagara, hal ini disebutkan di kitab Pararaton, nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa Pandakan. Menurut Aris Munandar, sangat mungkin Gajah Pagon selamat dan menikah dengan putri kepala desa Pandakan hingga memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang kemudian mengabdi di Majapahit.
Ini artinya Gajah Mada kemungkinan memiliki eyang yang sama dengan Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya, Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana cucu dari permaisuri Kertanagara. Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri.
Mengawali karir sebagai prajurit yang naik menjadi bekel atau (kepala pasukan Bhayangkara (pengawal Raja) pada masa Prabu Jayanagara (1309–1328). Ia berhasil menyelamatkan Jayanagara ke desa Badander serta memadamkan pemberontakan Ra Kuti. Atas prestasinya itu, Gajah Mada menjadi patih di Kahuripan (1319). Dua tahun berselang ia menjadi patih di Daha (Kediri).
Posisi ini membuat Gajah Mada masuk ke strata elitis keraton Majapahit. Keluarga Raja sangat terpesona dengan sosok Gajah Mada digambarkan sebagai “seorang yang mengesankan, bicaranya tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat”.
Setelah Gayatri meninggal pada 1331, Tribhuwana Wijayatunggadewi mengangkat Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi. Meski memiliki nama besar, akhir riwayat Gajah Mada tidak begitu jelas. Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menyatakan Kakawin Nagarakretagama mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada 1286 Saka atau sekitar 1364 M. Gajah Mada memang sakit dan meninggal di area Karsyan, Kota Majapahit . hal ini ada tertulis di Nagarakretagama yang menyatakan ketika Raja Hayam Wuruk sedang berziarah ke Blitar, Rajasanagara secara mendadak kembali ke ibu kota Majapahit setelah mendengar sang patih sakit.
Namun cerita-cerita rakyat Jawa Timur mengisahkan Gajah Mada menarik diri setelah skandal perang Bubat dengan menjadi pertapa di Madakaripura di kaki pegunungan Bromo-Semeru, Probolinggo. Sementara Kidung Sunda mengisahkan jika Gajah Mada tidak meninggal melainkan moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Wisnu. Gajah Mada moksa di kepatihan ke khayangan. IC/AND/XIII/06