Pura indah ini terletak di lereng sebelah barat daya Gunung gunung tertinggi di Bali Agung. Pura Besakih sengaja dipilih di desa yang dianggap suci karena letaknya yang tinggi, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Besakih. Nama Besakih merupakan Bahasa Sansekerta yang artinya wasuki. Sementara dalam bahasa Jawa Kuno adalah basuki yang artinya selamat. Namun secara mitologis, nama Besakih ini diambil dari nama naga basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.
Pura terbesar di Bali ini berkembang sejak pra-hindu berorientasi ke Gunung Agung yang merupakan tempat tinggal para dewata. Baik sumber tutur maupun tertulis menyebutkan Sri Kesari Warmadewa, pendiri pertama kompleks pura di Besakih pada saat pendiri dinasti Warmadewa berkuasa selama beberapa abad. Beda pendapat serta keraguan muncul dari cerita Sri Wira Dalem Kesari atau Sri Kesari Warmadewa, yang menunjukkan hubungan dengan dinasti Jaya pada abad ke 12. Dinasti yang dimaksud adalah Jayasakti, Ragajaya, Jayapangus, dan Ekajaya Lancana.
Menurut prasasti Sading, diduga Sri Wira Dalem Kesari merupakan nama lain Jayasakti yang memerintahkan Bali pada 1131-1150 M. Bahkan Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah juga terkait dengan cerita Besakih. Mpu Kuturan dikaitkan dengan Pura Peninjoan dan sebagai arsitek pembangunan Pura Besakih. Selain itu Nama Rsi Markandeyan dari Gunung Raung Jawa Timur juga dikaitkan dengan pendirian Pura Basukian, namun legenda ini tidak ditemukan dalam teks maupun sumber lain.
Keterkaitan Rsi Markandeya dengan Pura Besakih bersumber dari cerita Pedanda di Lembah Gianyar. Sumber lain baru baru muncul 1930-an, padahal di kompleks Pura Besakih banyak peninggalan zaman megalitik, seperti menhir, tahta batu, maupun struktur teras piramid. Beberapa peninggalan menunjukkan jika Pura Besakih berasal dari zaman yang sangat tua, bahkan jauh sebelum adanya pengaruh agama Hindu di Bali.
Secara spiritual, Pura Besakih merupakan lambang pemersatu karena keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung yang dianggap memiliki suatu kekuatan gaib yang harus dipuja dan dilestarikan. Pura Besakih dibangun berdasarkan keseimbangan alam dalam konsep Tri Hita Karana, yakni penataan bangunan disesuaikan berdasarkan arah mata angin agar struktur bangunan dapat mewakili alam sebagai simbolisme adanya keseimbangan. Setiap arah mata angin disebut mandala dengan dewa penguasa Dewa Catur Lokapala. Sementara mandala tengah sebagai porosnya, kelima mandala tersebut dimanifestasikan menjadi Panca Dewata.
Struktur bangunan berkonsep arah mata angin adalah Pura Penataran Agung Besakih, pusat mandala yang merupakan pura terbesar untuk memuja Dewa Çiwa Pura Gelap pada arah timur untuk memuja Dewa Içwara. Pura Kiduling Kereteg pada arah selatan untuk memuja Dewa Brahmana, Pura Ulun Kulkul pada arah barat untuk memuja Dewa Mahadewa. Sementara Pura Batumadeg pada arah utara untuk memuja Dewa Wisnu. IC/AND/XIV/13