Semakin tinggi ayunan terbang ke udara, makin cepat penyakit dan bala akibat lupa adat itu terlepas dan terbuang jauh.
*********************<>*******************
Tata, gadis 24 tahun itu terlihat memejamkan mata. Sesekali tubuhnya yang berukuran sedang, naik turun disebuah bangku ayunan yang terikat tambang ukuran besar. Penonton bersorak-sorai gembira tatkala bangku ayunan itu mulai menyusuri bagian bawah hingga naik kembali menuju puncak tali ayunan.
“Belum pernah aku merasakan naik ayunan hingga setinggi itu. Kalau ayunan yang biasa-biasa saja aku sudah sering merasakan di taman. Tapi ayunan yang satu ini beda. Seperti naik roller coster. Naik turunnya dalam kecepatan tinggi. Jantung seperti berpacu dengan gerakan naik turun, “ jelas Tata sambil menunjuk ayunan itu.
Tradisi ayunan yang dilakoni Tata tersebut disebut Mattojang. Dalam bahasa Bugis, Mattojang berasal dari kata Tonjang yang berarti ayunan. Ada juga daerah lain di Bugis yang menyebut tradisi ini sebagai Mappare. Kedua kata tersebut memiliki arti kata yang sama yakni permainan diayun-ayunkan.
Semakin tinggi semakin cepat, nasib buruk itu pergi, source : blogku
Tradisi Mattojang tak bisa dilepaskan dari mitos bahwa mattojang merupakan proses turunnya manusia pertama. Orang Bugis menyebutnya Batara Guru dari Botting Langi’ atau proses turunnya Batara Guru dari langit.
Orang Bugis percaya prosesi turunnya Batara Guru dari kayangan menggunakan Tonjang Pulaweng, yang artinya adalah ayunan emas. Mitos ini kemudian berkembang menjadi bagian dari tradisi permainan tradisional. Tradisi ini pada masa lalu dipakai sebagai pelangkap saat prosesi pencucian pusaka peninggalan Arung Kulo. Namun berkembangan berikutnya Mattojang juga dilaksanakan pada berbagai upacara adat.
Ada beberapa persiapan yang biasa dilakukan sebelum menggelar acara Mattojang, seperti mempersiapkan empat batang bambu ukuran besar. Masyarakat Bugis menyebutnya bambu betung dengan ukuran hingga 10 meter. Batang-batang bambu tersebut dipasang menyilang dengan mempertemukan ujung dibagian atas.
Pada rangkaian kedua dipasang menyilang bambu yang panjangnya sekitar enam meter sebagai tumpuan penyangga tali ayunan. Jika bambu dengan kualitas bagus tidak ada, masyarakat akan menggantinya dengan batang pinang dengan ukuran yang kurang lebih sama. Intinya, batang tersebut harus mampu menerima beban orang saat berayun. Beberapa tempat sudah mulai mengganti tali kulit dengan menggunakan rantai.
Persiapan seorang bocah yang hendak diayun, source : ist
Setelah tiang penyangga dan tali ayunan siap, langkah selanjutnya adalah membuat tudangeng dibuat dari papan sebagai tempat duduk orang yang akan berayun-ayun. Saat semua sudah siap pada tudangeng dipasang peppa yakni sebuah tali yang juga berfungsi sebagai alat penarik. Menariknya, mereka yang naik mattojang harus mengenakan baju adat bodo.
Selain permainan rakyat, mattojang diyakini sebagai proses penyembuhan spiritual. Masyarakat Bugis percaya, mereka yang telah melalaikan adat maka orang tersebut diyakini akan terserang penyakit aneh yang akan berujung pada kegilaan.
Untuk mencegah penyakit gila menyerang keluarga, orang Bugis dituntut untuk terus melestarikan adat, dan sesekali menjalani ritual mattojang. Ritual ini diyakini akan membuang jauh serangan kegilaan seperti ayunan yang demikian tinggi.
Semakin tinggi ayunan yang dilakukan, maka akan penyakin itu akan semakin jauh terbuang dan tidak berani kembali lagi. Secara filosofis, mattojang dalam kepercayaan Bugis bermakna penenangan jiwa. Layaknya bayi yang diayun-ayun ia akan tertidur pulas tanpa beban karena sudah melayang jauh ke udara. IC/IV/AND/6
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia