Historica

Airlangga, Jadi Raja Setelah Lakukan Gaya Hidup Brahmanistik

Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang unik. Bercorak Hindu-Buddha, kerajaan ini adalah kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno atau orang menyebutnya Medang Kamulan. Kahuripan memang diawali oleh Kerajaan Medang. Pada sekitar 1016 M, ibu kota Kerajaan Medang  di Watan saat ini berada di sekitar Madiun. Suatu ketika kerajaan ini diserang Raja Wurawari dari Lwaram, sebuah kerajaan sekutu  Sriwijaya. Medang yang ketika itu diperintah oleh Raja Dharmawangsa Teguh,  antara 985-1017 M.

 

Serangan besar-besaran itu membuat banyak pembesar Kerajaan Medang tewas dalam pertempuran, tak terkecuali  Raja Dharmawangsa Teguh. Posisi Airlangga yang adalah keponakan dan juga menantu raja  berhasil menyelamatkan diri ke  bersama abdi setianya, Narottama.

foto : selasar

Candi Belahan di Gempol Pasuruan

 

Perang dan kekacauan itu membuat  Airlangga kabur dari peradaban dan memilih hidup mengasingkan diri  di hutan  belantara. Bertahun-tahun Airlangga bersama para pertapa-pertapa di hutan dan gunung. Selama itu juga  Airlangga belajar dan  menghimpun kekuatan fisik serta moral, untuk mencapai tujuannya. Gaya hidup menurut pengajaran Brahmanistik membuatnya menjadi pribadi yang kuat hingga mampu mewujudkan impiannya menjadi raja yang masyhur. Beberapa legenda menyebutkan Airlangga menjadi sosok yang sakti.

 

Tiga tahun setelah peristiwa penyerangan dan pembunuhan di Medang, para  pendeta Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana datang untuk meminta Airlangga pulang  menjadi maharaja dan melanjutkan Kerajaan Medang.

 

Karena Kerajaan Medang telah hancur akibat perang, Airlangga  memutuskan membangun kerajaan baru di Wwatan Mas. Dan pada  1032 M, Raja Airlangga memindahkan ibu kotanya ke Kahuripan.

 

Menurut Prasasti, daerah  Kerajaan Kahuripan meliputi   daerah Sidoarjo, Pasuruan, dan sebagain Mojokerto. Sebagian besar masa pemerintahan Airlangga dihabiskan untuk peperangan,  menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang pernah melepaskan diri dari Kerajaan Medang.

 

Prasasti Pamwatan menjelaskan, menjelang akhir pemerintahannya, Airlangga memindahkan ibu kota Kahuripan kerajaan ke Daha (Kediri). Pada saat yang sama,  masalah suksesi kerajaan mulai muncul dikarenakan putrinya, Sanggramawijaya Tunggadewi, yang seharusnya menjadi ratu   justru memilih untuk menjadi pertapa.

 

Hal ini kemudian menimbulkan perebutan takhta di antara kedua putranya. Pada 1045 M. Raja Airlangga memutuskan membagi kerajaan untuk kedua putranya, Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya. Kerajaan Jenggala yang ibu kotanya terletak di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan, sementara Kerajaan Panjalu atau Kediri yang berpusat di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya. IC/AND/XI/02

 

 

 

 

 

Share
Published by
Wisnu