Arkeolog Ninie Susanti, dari Universitas Indonesia, mengaitkan Lamongan dengan Dahanapura. Hual ini berdasarkan analisis sebaran at distribusi prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga semasa berkuasa.
“Semasa pemerintahannya, Raja Airlangga mengeluarkan lebih dari 33 prasasti yang terbuat dari bahan batu dan logam, yang tersebar di wilayah-wilayah Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Lamongan,” ujar Ninie dalam Seminar Hasil Penelusuran Jejak Situs dan Prasasti Airlangga di Kabupaten Lamongan.
Prasasti-prasasti yang berasal dari wilayah Sidoarjo adalah Prasasti Silet (941 Saka), Prasasti Kamalagyan (963 Saka), Prasasti Turunhyang, Prasasti Pandan (964 Saka), dan Prasasti Gandhakuti 964 Saka). Prasasti Patakan, Prasasti Baru (952 Saka), Prasasti Cane (943 Saka), dan Prasasti Kakurugan (945 Saka), tercatat berasal dari wilayah sekitar Surabaya.
Prasasti Pucangan (959 Saka dan 963 Saka), serta Prasasti Terep 1 dan 2 (954 Saka) berasal dari wilayah Gunung Penanggungan. Kemudian Prasasti Munggut (944 Saka), Prasasti Katemas, dan Prasasti Kusambyan (959 Saka) berasal dari wilayah Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang.
Selebihnya banyak ditemukan di daerah Lamongan, seperti Prasasti Pamwatan (Pamotan), Prasasti Pasar Legi (965 Saka), Prasasti Sendang Gede, Prasasti Drujugurit, Prasasti Lemahbang, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), Prasasti Sumber Sari 1 dan 2, Prasasti Kedungwangi, Prasasti Nagajatisari, Prasasti Titing, Prasasti Brumbun, Prasasti Mendogo, dan Prasasti Sugio.
Analisis distribusional prasasti Airlangga bila dikaitkan dengan analisis isi prasasti dapat diinterpretasikan telah ada pergerakan energi, informasi, dan perdagangan di wilayah-wilayah ditemukannya prasasti tersebut. Dapat dijabarkan bahwa sesuai isi prasasti, pusat Kerajaan Airlangga mula-mula berada di Wwtan Mas yang sangat mungkin berada di sekitar Surabaya. Tempat ini dianggap strategis untuk melaksanakan pola perdagangan internasional lewat laut, namun juga rawan serangan dari laut.
Beberapa pertimbangan ekonomi seperti menghidupkan perdagangan regional dan pertimbangan politis, di antaranya menghindari serangan langsung dari musuh, mendorong Airlangga memindahkan pusat kerajaan lebih ke pedalaman. “Yaitu Kahuripan, yang mungkin adalah suatu daerah di dekat aliran Sungai Brantas,” jelas Ninie.
Pada 964 Saka, berdasarkan Prasasti Pamwatan (yang menyebut kata ‘dahanapura’), diperkirakan pusat kerajaan bergeser mendekat ke laut. Ini dilakukan untuk memperpendek jarak menuju pelabuhan internasional yaitu Pelabuhan Kambang Putih (Tuban sekarang) guna mendukung strategi ekonominya.
“Beberapa pertimbangan adalah wilayah yang terdapat titik-titik ditemukan prasasti-prasasti tersebut berada di daerah aliran sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas beserta anak sungainya, yang dapat disebut sebagai kekuatan perdagangan regional lewat sungai,” lanjut Ninie.
Distribusi persebaran prasasti Airlangga juga dapat dipahami sebagai upaya menegakkan hegemoni kerajaan melalui penaklukan-penaklukan. Ini dilakukan terhadap raja-raja bawahan yang tidak taat sejak peristiwa pralaya terjadi. Isi prasasti yang menyebut tentang hadiah sima dari raja kepada rakyat, perorangan, keluarga yang telah membela raja ketika berada dalam kesulitan melawan raja-raja bawahan, menggambarkan hal itu.
Meski sepakat menyebut wilayah Lamongan pernah menjadi pusat Kerajaan Airlangga, Agus Aris Munandar memiliki pandangan berbeda berkaitan dengan periodenya. Akademisi yang juga dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini, berasumsi kraton tersebut adalah Wwatan Mas.
Asumsi tersebut berdasarkan nama sebuah Desa di wilayah Lamongan yang sampai sekarang disebut Wotan (Slahar Wotan). Di desa ini pernah ditemukan sebuah prasasti yaitu Prasasti Wotan. Penduduk setempat seringkali juga melaporkan bahwa di area Dusun Cluring, tempat prasasti itu ditemukan, terdapat benda-benda (artefak) emas, berbentuk arca, kertas emas tipis, dan perhiasan.
“Kajian lebih lanjut perlu secara intensif dilakukan di area ini. Kemungkinan besar Wwatan Mas Airlangga berada di Lamongan, di Desa Wotan atau areal di dekatnya,” jelas Agus dalam kesempatan yang sama.
Raja Besar
Seperti sudah banyak disebut dalam buku-buku sejarah, Airlangga adalah penerus Wangsa Isana di Jawa Timur. Prasasti Pucangan yang berbahasa Sanskrta menyebut, dia adalah putra dari Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni, cicit perempuan dari Mpu Sindok. Sedangkan ayahnya adalah Dharmodayana, seorang putra mahkota dinasti Warmadewa dari Bali.
Airlangga lolos dari pralaya saat Raja Wura Wari meluluh lantakkan istana Mataram Kuno pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Saat itu pesta perkawinan antara Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Para pembesar istana termasuk Raja Dharmawangsa Teguh, meninggal dalam serangan tersebut.
Airlangga yang waktu itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan pendeta. Kehidupan Airlangga di hutan bersama dengan pertapa dan pendeta nampaknya banyak memberikan pelajaran saat menjadi raja kelak. Airlangga dianggap sebagai jelmaan Dewa Wisnu yang bakal membangun tahta dari puing-puing kehancuran kerajaannya.
3 tahun berdiam di hutan, pada 1019 Masehi, Airlangga mendapat restu para pendeta dari ketiga aliran (Siwa, Budha, dan Mahabrahmana) serta rakyat, untuk menduduki tahta. para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa.
Periode awal pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Periode antara 951 saka (1029 M) sampai 959 saka (1037 M) adalah periode penaklukan terhadap musuh-musuhnya di wilayah barat, timur, dan selatan. Berita pada prasasti pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut.
Namun demikian di antara tahun-tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh. Kesuksesan dalam penaklukan wilayah sekitar ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan pelarian. Peristiwa kekalahan sehingga terpaksa harus meninggalkan kratonnya di Wwtan Mas dan melarikan diri ke Desa Patakan, salah satu contohnya.
Pengamatan dari beberapa isi prasasti menyimpulkan Airlangga adalah raja besar karena berhasil membawa kerajaan dan rakyatnya bangkit setelah terpuruk akibat pralaya.
Di sektor ekonomi, ia melakukan perbaikan dengan memaksimalkan hasil pertanian, memperluas lahan sawah, memperbaiki irigasi. Terobosan Airlangga ini dapat dilihat dalam Prasasti Kamalagyan. Perbaikan pelabuhan juga dilakukan untuk memajukan perdagangan internasional.
Raja Airlangga pun tidak mengesampingkan usaha mengukuhkan dirinya sebagai raja. Yaitu dengan menerbitkan Prasasti Pucangan yang berisi silsilah dirinya. Dia juga memerintahkan pujangga kerajaan, Mpu Kanwa, menggubah sebuah kakawin. Para ahli menyebut isi kakawin ini sebagai gambaran perjalanan hidupnya terutama saat masa pelarian setelah pralaya. IC/AND/XI/14