Masalah administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan atau dijalankan oleh lima pembesar yang disebut Sang Panca ri Wilwatika. Kelima pejabat itu : Patih Amangkubumi, Demung, Kanuruhan, Rangga, dan Tumenggung. Kelimanya menjadi pejabat yang wajib dikunjungi oleh para pembesar negara bawahan dan negara daerah untuk urusan pemerintahan.
Kebijakan yang direncanakan dan diputuskan oleh Raja atau pemerintah pusat, maka harus dilaksanakan di daerah oleh pembesar bersangkutan. Begini alurnya : Dari Patih perintah turun ke watek. Dari watek turun ke akuwu atau akurug semacam lurah, pejabat untuk wilayah desa. Dari lurah perintah turun pada wanua dan turun ke buyut, lantas dari buyut kepada masyarkat desa. Demikianlah alur birokrasi, organisasi dan komunikasi pemerintahan di Majapahit, dari pucuk pimpinan negara sampai rakyat pedesaan.
Dalam keseharian raja-raja daerah dibebani tugas untuk mengumpulkan penghasilkan bagi kerajaan, menyerahkan dan membayarkan upeti kepada perbendaharaan kerajaan, serta kewajiban mempertahankan wilayah. Secara umum, birokrasi di kerajaan daerah adalah miniature dari birokrasi di Kerajaan Majapahit, hanya saja dalam skala yang lebih kecil. Meski begitu raja-raja daerah memiliki kewenganan dan otonomi untuk mengangkat pejabat-pejabat birokrasi bawahannya.
Selain pejabat administratur masih banyak sejumlah pejabat sipil dan militer lainnya. Mereka adalah kepala jawatan atau tanda, nayaka, pratyaya, drawwayahaji, dan surantani, yang bertugas sebagai pengawal raja dan lingkungan keraton.
Menurut kronik Cina era Dinasti Sung (960-1279) mengenai birokrasi kerajaan, raja Jawa mempunyai lebih dari 300 penjabat yang mencatat penghasilan kerajaan. Ada sekitar 1.000 orang penjabat rendahan yang mengurusi benteng-benteng, parit-parit kota, perbendaharaan, dan lumbung-lumbung negara.
Hal ini sesuai dengan penjelasan kitab Praniti Raja Kapa-Kapa, diuraikan bahwa ada 150 menteri dan 1.500 penjabat rendahan.
Kitab Praniti Raja Kapa-Kapa menjelaskan bagaimana sifat-sifat yang harus dimiliki seorang abdi kerajaan. Praniti Raja Kapa-Kapa merupakan sajak atau syair berbait sepuluh yang konon sering dibacakan pada saat-saat tertentu seperti saat para pejabat Negara berkumpul untuk melakukan rapat kerja atau “sidang kabinet” yang dilakukan pada bulan-bulan phalguna caitra.
Yang menarik dari Praniti Raja Kapa-Kapa membahas mengenai sifat dan watak mantri atau menteri, yang berasal dari kata ma-tri atau tiga ciri utama, yaitu tiga sifat dasar yang harus dimiliki oleh setiap pejabat negara yang baik, yakni berupa setya (kesetiaan), sadu (kerendahan hati), dan tuhu (kesungguhan).
Sistem pemerintahan di Majapahit bersifat teritorial dan disentralisasi, dengan birokrasi yang menjamin semua perintah dapat terlaksana. Raja sebagai penjelmaan dewa, memegang otoritas politik tertinggi. Sementara hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya d berbentuk clienship, yaitu ikatan seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi. IC/AND/XV/11