Setelah tanah digaris, pasukan Majapahit tak mampu memasuki Kasunanan. Tapi saat Sunan bersabda, pasukan gajah itu berubah menjadi sekelompok batu. Sampai sekarang, situs watu gajah menjadi bukti kedahsyatan ilmu Sunan Bajagung.
Sekumpulan batu-batu cadas beraneka ukuran berserakan di ladang milik penduduk di kawasan Desa Bejagung,Semanding, Tuban. Kawasan yang berada pada perbukitan di atas lapangan bola itu memang dipenuhi oleh tanaman liar dan semak. Dari kejahuan yang tampak hanya rerimbunan semak belukar. Jagung dan kacang tampak tumbuh dilahan milik warga. Sesekali hanya tampak anak sekolah yang melintas jalan pintas ini saat pulang sekolah.
“Dik, tahu lokasi Watu Gajah?” tanya IndonesianCulture . “Ya disini mas. Persis dibelakang rimbunan semak itu,” ujarnya anak sekolah sambil menunjuk lokasi yang ditanyakan. Setelah mengamati sekitar, IndonesianCulture baru sadar jika daerah itu adalah lokasi situs Watu Gajah. Masyarakat sekitar menyebut sekumpulan batu-batu bersar yang berserakan di ladang yang ditanami jagung dan kacang ini sebagai Watu Gajah.
Dari asal namanya, watu gajah yang berarti batu gajah. Dinamakan demikian karena sepintas beberapa bongkah batu besar itu bentuknya memang mirip wujud gajah dengan berbagai posisi dan pose. Ada yang menelungkup, berdiri, rebahan dan sebagainya. Bahkan beberapa batu terlihat sangat mirip gajah lengkap dengan mata , telinga dan belalai.
Batu-batu yang berwarna hitam itu sendiri letaknya saling berdekatan. Setidaknya ada 5 batu besar yang bentuknya mirip gajah disana. Sayang karena rimbunnya semak-semak di sekitar lokasi yang juga menutupi batu-batu itu, menjadikan bentuk gajah pada batu-batu itu menjadi kurang jelas. Selain itu juga ada sebuah batu besar yang bentuknya seperti kepingan puzzle dengan tiga keping pecahan batu.
Menurut Anwar, tokoh Desa Semanding, keberadaan Watu Gajah ini tak lepas dari sosok Sunan Bejagung. Watu Gajah ini juga sangat berkait erat dengan keberadaan Pangeran Sudimoro putra mahkota Kerajaan Majapahit yang tak lain putera Prabu Hayam Wuruk atau Brawijaya IV. “Meski putra mahkota, Pangeran Sudimoro adalah sosok pemuda yang cerdas dan gemar mencari ilmu. Ketertarikannya terhadap Islamlah yang membuatnya pergi merantau ke Tuban untuk mencari guru ilmu Syari’at, Thoriqot, Haqiqot, dan Ma’rifat. Sesampai di Tuban, ia bertemu dengan Kanjeng Sunan Bejagung,” tutur Anwar.
Pertemuan itu membuat Pangeran Sudimoro kian bersemangat untuk belajar agama dan mengaji kepada Sunan Bejagung. Karena kecerdasan dan kecapakannya, Sunan Bejagung akhirnya mengambil Pangeran Sudimoro sebagai menantunya. “Beliau akhirnya diambil menantu oleh Kanjeng Sunan dan ditetapkan menjadi kiai di Kasunanan Bejagung. Sementara Sunan Bejagung uzlah di sebelah utara Kasunanan, suatu ladang yang penuh dengan tanaman petani,” jelas Anwar mengenai pembagian wilayah Kasunanan ketika itu..
Tentu saja kepergian Pangeran Sudimoro ke Tuban membuat Hati Prabu Hayam Wuruk menjadi sedih. Sebagai seorang putra mahkota, Pangeran sudimoro memang digadang-gadang bakal menjadi raja besar Kerajaan Majapahit. Berbagai upaya pencarian itu akhirnya membuahkan hasil. Prabu Hayam Wuruk mendapat informasi bahwa puteranya tengah berada di Tuban untuk memperdalam agama Islam.
“Konon karena tugas penting, Sang Prabu sampai-sampai mengutus Patih Gajah Mada untuk menjemput Sudimoro. Bahkan disebut-sebut Gajah Mada juga mengerahkan ilmu Barat Ketigo, untuk mengajak sang putera mahkota (Pangeran Sudimoro) pulang ke Majapahit. Namun semua upaya terhalang oleh tekad kuat Sudimoro yang hanya ingin memperdalam Islam. Tapi Sudimoro juga sedikit ketakutan untuk menolak keinginan ayahandanya,” tutur Anwar.
Karena merasa ketakutan, lanjut Anwar, Sudimoro akhirnya melapor dan memohon perlindungan dari Sunan Bejagung. Intinya Sudimoro masih belum ingin pulang dan menjadi raja, ia hanya ingin menjadi santri di pesantren Sunan Bajagung. Kehendak Pangeran Sudimoro tersebut dikabulkan oleh Sunan Bejagung.
Sebagai bukti dukungan itu Sunan Bejagung menggaris atau meng-garet tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung. “Sampai sekarang garis yang dibuat Sunan itu masih ada, Masyarakat sekitar menamainya Siti Garet. Dan karena kesaktian beliau, guratan ditanah itu benar-benar membuat tentara Majapahit tak mampu memasuki Kasunanan. Karena mendapat halangan gaib, pasukan Majapahit itu memutuskan untuk memutar ke arah selatan dan berhenti di arah selatan Kasunanan,” kisah kakek dua cucu ini.
Saat situasi genting akibat keberadaan pasukan di selatan padepokan, seorang santri melaporkan kondisi padepokan kepada Kanjeng Sunan. Santri itu melihat, pasukan Majapahit berikut sekelompok gajah siap menyerang sesuai perintah. Mendapati laporan yang mengawatirkan itu, bukanya panik atau ketakutan, Sunan Bajagung, justru terlihat tenang dan mengatakan, “Dimana ada gajah? Itu semua hanya batu,”
Konon, ucapan Sunan Bejagung itu menjadi kenyataan. Seketika itu juga, semua gajah berubah menjadi batu. “Kalau sampeyan lihat, banyak bentuk-bentuk batu itu sangat menyerupai gajah. Setelah peristiwa itu, masyarakat setempat menamai tempat itu dengan nama watu gajah. Kalau dulu masih banyak orang yang ritual disini. Mereka umumnya orang-orang yang mencari petunjuk untuk nomor togel,” kata Anwar.
Gagallah upaya memulangkan Pangeran Sudimoro untuk menjadikannya raja. Sisa pasukan yang tak berhasil menjalankan tugas itu memilih untuk mundur dan pulang ke ibukota Majapahit. Kondisi aman ini membuat Pangeran Sudimoro semakin semangat untuk belajar agama. Pangeran Sudimoro kemudian mengganti namanya menjadi Pangeran Pengulu atau Syekh Hasyim Alamuddin alias Sunan Bejagung Kidul. IC/VII/AND/05
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia