Masa-masa awal Majapahit memang penuh tantangan dan gejolak. Selain harus mempertahan diri dari serangan kerajaan luar, konflik dan perang saudara dengan berbagai pemberontak kerap menguras energi. Akibatnya pada fase pertama, Majapahit seperti mengalami stagnasi perkembangan.
Namun pada paruh kedua, Majapahit seolah mampu melepaskan diri dari aneka konflik dan muncul sebagai hegemoni kekuasaan yang merajalela. Berbagai ekspedisi penaklukan dan diplomasi persahabatan diluncurkan. Kampanye perluasan wilayah ini sukses diraih pada fase kedua yang sering disebut sebagai masa keemasan Majapahit. Berikut Ratu dan Raja yang memerintah pada fase tersebut :
TRIBUWANA TUNGGA DEWI (1328 – 1350)
Tribuwana Tungga Dewi adalah putri Raden Wijaya dari Gayatri. Secara pertalian kekerabatan, Tribuwana adalah adik tiri Jayanegara. Ia bergelar Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, ratu ini memerintah bersama suaminya Kertawardhana. Pada masa ini pemberontakan Sadeng dan Keta berhasil dipadamkan dengan bantuan Gajah Mada. Gajah Mada lantas diangkat menjadi Rakryan Patih Majapahit pada 1334 serta mengucapkan Sumpah Palapa yang artinya tidak akan bersenang-senang sebelum berhasil menyatukan wilayah nusantara dibawah kekuasaan Majapahit.
Sumpah Palapa adalah gagasan lama yang telah dimulai oleh Raja Singhasari, Kertanegara. Benar saja pada 1343 Majapahit berhasil menaklukkan Bali, 1347 menaklukan Kerajaan Sriwijaya dan Melayu. Tribuwana turun tahta 1351 sepeninggal ibunya Gayatri.
HAYAM WURUK (1350 – 1389)
Sebagai pengganti Tribuwana di tunjuk Hayam Wuruk. Terkenal sebagai Pangeran yang cakap lahir pada 1334. Masa pemerintahan Hayam Wuruk yang bersanding dengan Maha Patih Gajah Mada inilah yang dianggap sebagai puncak keemasan Kerajaan Majapahit, dengan hasil taklukan wilayah yang sangat luas.
Peristiwa penting lainnya saat Dharma Hayam Wuruk, dengan membangun dan merenovasi candi-candi leluhurnya. Majapahit memasuki era yang damai ketika itu. Peristiwa besar lainnya adalah konflik Bubat. Ketika Raja Hayam Wuruk berniat mempersunting Putri Sunda. Saat rombongan Sunda berkemah di lapangan Bubat, terjadi kesalahpahaman, Patih Gajah Mada menganggap kedatangan rombongan Sunda sebagai tunduk pada Majapahit dengan menyerahkan sang putri sebagai persembahan. Tentu saja rombongan dari Sunda merasa terhina hingga pecah peperangan yang tidak seimbang. Sang Prabu Maharaja Sunda dan putrinya gugur pada perang ini.
WIKRAMAWARDHANA (1389 – 1427)
Setelah Hayam Wuruk meninggal, tongkat kepemimpinan Majapahit dipegang oleh Kusumawardhani dengan suaminya Wikramawardhana. Pada masa ini kembali pecah aneka pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Penyebabnya adalah perselisihan Bhre Wirabumi, Putra Wijayarajasa, mertua Hayam Wuruk yang berkuasa di Istana Timur di Pamotan dengan Wikramawardhana. Perang berlangsung selama dua tahun antara 1326 hingga 1328 dengan kemenangan dipihak Wikramawardhana. Perang Paregreg disebut-sebut biang penyebab lemahnya Majapahit karena konon menguras kas Negara, hingga pada 1348 terjadi bencana kelaparan berkepanjangan.
DEWI SUHITA (1427 – 1447)
Wikramawardhana memang berhasil mengalahkan Bhre Wirabumi pada perang Paregreg serta memboyong putri Bhre Wirabumi yang dijadikan selir. Dari selir ini lahir 3 orang anak yakni : Bhre Tumapel, Dewi Suhita, dan Kertawijaya. Ketika Wirakramawardhana mangkat, pada 1349, Dewi Suhita naik tahta sebagai Ratu Majapahit. Namun pada masa ini tidak ada capaian prestasi karena kondisi Majapahit sangat memperihantinkan karena terjadi bencana kelaparan. Bersambung – IC/AND/XV/24