Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi Hindu-Budha terbesar di Asia Tenggara dengan luas 3.981 hektar. kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks candi ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di pinggir Batang Hari, sekitar 26 km sebelah timur Kota Jambi.
Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke 7 hingga ke 12 Masehi.Candi Muara Jambi merupakan kompleks candi terbesar dan paling terpelihara di Pulau Sumatera. Sejak 2009, kompleks candi Muaro Jambi telah dinominasikan oleh UNESCO menjadi Situs Warisan Dunia. Luasnya diperkirakan 12 kali lebih besar dari luas Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Kompleks Candi Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke, yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer. Baru pada 1975 pemerintah Indonesia memulai pekerjaan restorasi serius yang dipimpin oleh R. Soekmono.
Berdasarkan tulisan Jawa kuno pada beberapa loh batu yang ditemukan, ahli epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan tersebut berasal dari abad ke-7 hingga ke-12 Masehi. Di situs ini, hanya ada sembilan bangunan yang dipugar dan semuanya bergaya Budha. Sembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.
Dari sekian banyak penemuan yang dilakukan, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan bahwa kawasan tersebut dulunya banyak dihuni dan menjadi tempat bertemunya berbagai budaya. Ada mutiara dari Persia, Cina dan India. Buddhisme Tantra Mahayana menjadi agama mayoritas dengan ditemukannya loh-loh bertuliskan “wajra” di beberapa candi membentuk mandala.
Struktur kompleks Utama
Kompleks Candi Muaro Jambi terletak di tepian alam purbakala Sungai Batanghari. Lokasi ini memiliki luas 12 kilometer persegi, panjang lebih dari 7 kilometer, dan luas 260 hektar yang membentang searah dengan sungai. Situs ini memiliki 110 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum dibersihkan (dihuni). Selain itu, di kompleks candi ini juga terdapat sejumlah bangunan yang dipengaruhi agama Hindu.
Di dalam kompleks tidak hanya terdapat candi tetapi juga parit atau kanal kuno buatan, kolam air, dan gundukan berisi struktur batu bata kuno. Di kompleks tersebut setidaknya terdapat 85 menapo yang masih dimiliki masyarakat setempat. Selain monumen berupa karya arsitektur, di kompleks tersebut juga terdapat patung Prajnaparamita, Dwarapala, Gajahsimha, batu umpak, dan lesung atau mortir batu.
Gong perunggu berukir aksara Tionghoa, kitab Buddha yang ditulis di atas kertas emas, keramik asing, gerabah, vas perunggu besar, uang logam Tiongkok, manik-manik, batu bata bertulis, ilustrasi dan penandaan, pecahan patung batu, batu mulia, pecahan besi dan tembaga. Selain candi, di kompleks ini juga terdapat gundukan (gunung kecil) yang juga buatan. Penduduk setempat menyebut gunung kecil ini Bukit Sengalo atau Kuil Bukit Perak.
Meskipun kompleks candi ini merupakan warisan budaya dunia, namun candi ini menemui kendala dalam pengelolaannya. Situasi ini diperparah dengan hadirnya industri kelapa sawit dan batu bara di sekitar kompleks. Bahkan, beberapa candi dan menapo atau tumpukan batu bata dengan struktur candi, terletak tepat di tengah-tengah pabrik dan tempat penyimpanan batu bara. IC/AND/XII/14