Letaknya di atas sebuah bukit yang oleh penduduk sekitar dinamakan Gunung Singobarong. Untuk mencapainya harus berjalan kaki dari dusun terdekat sejauh sekitar 1 kilometer. Dimulai dari sela-sela rumah penduduk, melewati jalan setapak, disusul trap-trap menanjak yang cukup membuat nafas berpacu.
Suasana sepi dan ngelangut langsung terasa begitu sampai di puncak bukit, meski di waktu siang sekalipun. Desir angin, sesekali suitan burung liar, dan bekas-bekas bunga sesaji seakan membawa ke jaman ribuan tahun silam. Masa ketika peninggalan purbakala itu masih menjalankan fungsinya sebagai bangunan suci.
Itulah situs Candi Gunung Wukir, yang terletak sekitar 10 kilometer arah tenggara Candi Borobudur. Lokasi ini masuk dalam wilayah Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Berwujud komplek candi yang dikelilingi rumpun-rumpun bambu, dengan pemandangan indah Gunung Merapi di arah timur.
Komplek Candi Gunung Wukir terdiri dari sebuah candi induk dan 3 candi perwara (candi-candi pendamping). Namun keempatnya sudah tidak utuh lagi, hanya menyisakan dasar candi, dengan reruntuhan di sekelilingnya.
Pada candi utama terdapat sebuah yoni, lambang kelamin wanita, yang berukuran cukup besar. Sebuah yoni lagi tampak tergeletak menyendiri di sela-sela batu yang berserakan. Sementara lingga, simbol laki-laki, yang seharusnya menancap di yoni, tak terlihat lagi. Selain yoni, arca lembu betina atau andini, juga bisa dilihat di candi ini.
Di candi ini pernah ditemukan Prasasti Canggal yang sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Canggal memuat candra sengkala (tanda tahun) ‘sruti indriya rasa’ atau 654 Saka (732 M). Berbahasa sansekerta dengan huruf pallawa, Prasasti Canggal berisi peringatan tentang pendirian sebuah lingga oleh Raja Sanjaya. Didirikan di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja, di sebuah pulau bernama Yawadwipa yang kaya akan padi dan emas.
Sebagai bangunan kuno yang berumur lebih dari 1000 tahun, tak mengherankan bila candi ini sangat dikeramatkan. Pada saat-saat tertentu, seperti malam Jum’at Kliwon, sering ditemui orang-orang yang melakukan ritual peziarahan di tempat itu. “Kebanyakan dari luar daerah, Mas”, kata Ngadiran, warga Dusun Canggal.
Ular Siluman
Berbagai berkah diharapkan datang dari tempat ini, mulai kelimpahan rezeki, cepat memperoleh pekerjaan, hingga kenaikan pangkat atau jabatan. Dengan tujuan seperti itu, seringkali terlihat ada peziarah yang bertirakat sampai beberapa hari. Tenda-tenda darurat pun didirikan di sela-sela pohon bambu, sebagai tempat mereka berteduh.
“Beberapa orang juga pernah mengadakan ritual mencari pusaka,” ungkap Anto, anak Widodo, penjaga candi. Pencarian pusaka seperti dikatakan Anto, biasanya dilakukan di sebuah tempat di selatan candi. Warga menyebut tempat yang ditandai tumpukan batu berjajar itu sebagai Kuburan Budho. Mungkin mengacu pada kekunoannya sebagai peninggalan masa Hindu atau Budha.
Sebagian orang memang percaya banyak pusaka dengan berbagai bentuk dan kesaktiannya, tersimpan di tempat ini. Beberapa orang mengaku pernah menyaksikan banyak cahaya berkelebat pada malam hari yang dipercaya sebagai tanda aura pusaka-pusaka terpendam. Namun sampai sekarang, belum pernah ada yang berhasil mengambil pusaka-pusaka itu. Padahal pernah ada yang memburunya sampai berhari-hari, bahkan berminggu-minggu di tempat ini.
Meski banyak diziarahi oleh para pengalab berkah dan pemburu pusaka, Candi Gunung Wukir dan Kuburan Budho diyakini tidak menerima mereka yang bertujuan kurang baik. Sebuah kejadian yang menimpa seorang pencari nomer lotre beberapa waktu lalu, menguatkan anggapan itu.
Konon, seekor ular siluman pernah menampakkan diri menakuti si pemburu lotre tersebut. Ketika bersamadi, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang menyuruhnya membatalkan niat membeli lotre. Namun orang ini bergeming, menganggap suara itu hanya godaan saja. Yang terjadi kemudian, orang tersebut lari pontang-panting sampai ke Dusun Canggal setelah seekor ular raksasa sebesar pohon kelapa hendak menelannya. IC/AND/XVI/11