Cerita ini banyak beredar dan dipercayai masyarakat hampir di seluruh Nusantara kala dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat percaya, mungkin bahkan setelah kemerderkaan, bahwa tiap proyek infrastrukur atau bangunan yang dibangun oleh Belanda selalu melibatkan dan melakukan penumbalan manusia.
Begitu dipercayanya cerita ini sampai-sampai banyak masyarakat yang meyakini jika tanpa penumbalan atau korban manusia, maka pekerjaan yang dilakukan akan menuai masalah atau bahkan gagal. Lebih celaka lagi, hampir sebagian besar masyarakat percaya jika tanpa penumbalan bangunan atau proyek itu akan ambruk dan memakan korban yang lebih banyak. Intinya, suka tidak suka, penumbalan itu harus dilakukan untuk mencegah korban yang lebih besar. Tapi benarkah demikian?
Jembatan Palasa yang tetap bertahan hingga sekarang.
Salah satu mitos yang masih bertahan hingga saat ini adalah jembatan Palasa di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Sebuah jembatan yang masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini. Dibangun pada 1936, jembatan itu terlihat baru dibangun 30 tahun lalu saja. Konon Jembatan Belanda itu menumbalkan seorang gadis perawan yang berusia 17 Tahun dari suku Lauje yang ditanam di di bawah pondasi jembatan. Maksud tumbal itu agar menjadi penguatan jembatan agar tetap kuat berdiri sampai ratusan tahun.
Akan hal jembatan, terowongan kereta dan beberapa gedung di Jawa, yang konon kabarnya juga menumbalkan kepala manusia sebagai tanda awal pengerjaan proyek. Bahkan ada juga yang menyebut, tumbal kepala manusia itu sebagai sarana untuk melobi kekuatan gaib yang ada dilokasi agar pembangunan itu bisa berjalan sukses.
Cerita-cerita mengenai tumbal kepala sebagai penguat fondasi jembatan, gedung dan lain sebagainya sudah ada sejak masa penjajahan ratusan tahun lalu. Sangat bisa dimengerti bagaimana herannya orang-orang pribumi saat para insinyur Belanda itu merencanakan dan berhitung saat hendak menaklukkan kondisi alam Nusantara yang masih belum banyak terjamah manusia. Bagaimana para pribumi heran saat melihat pembangunan burg atau jembatan.
Bisa disadari kemampuan minim tersebut karena belum banyaknya orang-orang pribumi yang mengenyam pendidik tinggi apalagi masalah teknologi. Tak bisa dibantah, kalangan pribumi masih tertinggal untuk rekayasa teknologi kala itu. Minimnya pengetahuan itu membuat mereka terheran-heran saat orang-orang Belanda menggagas pembangunan jembatan. Dan ditengah kebingungan mereka mengajukan pertanyaan kepada para meneer tersebut.
“Bagaimana meneer bisa membuat jembatan begitu kuat dan mampu menghadapi ganasnya alam?” Tanya seorang pribumi.
Mendapat pertanyaan spontan, meneer tadi terlihat kebingungan, ia tidak siap menjelaskan panjang lebar mengenai teknik yang ia gunakan. Setelah berpikir sejenak si meneer menemukan jawab jitu. “Kami membangin dengan ini!” kata meneer itu sambil menunjuk dan menempelkan jarinya di kepala orang yang bertanya.
“ohh, dengan kepala,” gumam si pribumi.
Konon dialog singkat antara pribumi dan Belanda ini memunculkan dongeng tentang pembangunan jembatan yang membutuhkan tumbal kepala manusia. Dari pembicaraan itu, orang pribumi itu menduga untuk membangun jembatan yang kokoh, maka harus menggunakan kepala manusia. Karena kebutuhan yang mendesak muncul cerita-cerita lain yang mengabarkan jika tumbal itu diperoleh dari menculik anak-anak atau orang-orang yang berjalan tanpa teman atau perlindungan dan memenggal kepalanya.
Itulah sebabnya sering kali beredar isu penculikan anak-anak saat di daerah mereka ada proyek-proyek pembangunan jembatan, bendungan atau fasiltas besar lainnya. Padahal saat orang Belanda itu ia menunjuk jidat orang tersebut maksudnya adalah menggunakan akal dan pikiran alias kecerdasan dan perhitungan untuk menghasilkan jembatan yang kokoh dan tahan lama. IC/VI/AND/01
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia