Palangka Sriman Sriwacana adalah batu berukuran 200 cm x160 cm x20cm yang terbuat dari batu andesit. Bentuknya persegi panjang, dengan permukaan halus yang digosok hingga mengkilap. Batu ini merupakan piranti yang selalu dipakai untuk penobatan raja-raja Pajajaran.
Siapapun yang dinobatkan menjadi raja harus duduk dibatu Palangka Sriman Sriwacana ini. Bagitu penting batu ini, membuat batu tempat duduk ini memiliki nilai istimewa bagi masyarakat Pasundan. Sayangnya batu ini sudah tidak berada di Pajajaran lagi tetapi dibawa ke Keraton Banten. Melihat bentuk dan teksturnya yang hitam dan mengkilap, masyarakat Banten memberinya nama watu gigilang, yang artinya mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.
Uniknya di keraton Surosowan, Banten, Palangka Sriman Sriwacana masih difungsikan sebagai piranti penobatan raja, tapi tentu saja dengan prosesi yang berbeda. Namun pamor itu terus meredup seiring runtuhnya Kesultanan Banten oleh gempuran imperialis Belanda. Dan dengan kehancuran Keraton Surosowan, menjadi tanda berakhirnya Kesultanan Banten.
Saat ini Palangka Sriman Sriwacana masih dapat dilihat di depan bekas Keraton Surosowan di areal Banten Lama. Bak bumi dan langit, keberadaan batu ini ini sangat berbanding terbalik dengan dengan kemegahan fungsinya dimasa lalu. Saat ini masyarakat hanya melihatnya sebagai sebuah batu tua yang tak lagi mengkilap seperti namanaya. Pamornya terus tergerus zaman di ruang terbuka berpagar sekedarnya. Sangat kontras dengan fungsinya dimasa lalu.
Batu Palangka Sriman Sriwacana atau singgahsana raja tercatat dalam carita Parahyangan sebagai berikut :
“Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka sriman sriwacana sri baduga maharajadiraja ratu haji di pakwan pajajaran nu mikadatwan sri bima punta narayana madura suradipati, inyana pakwan sanghiyang sri ratu dewata”.
Terjemahannya kurang lebih berarti : Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja, ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu Istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
Nama Sri Baduga Maharaja kemudian lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Dianggap meneruskan kejayaan kakek buyutnya, Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur sebagai pahlawan di perang Bubat. Rakyat Parahyangan lantas menyebut Prabu Lingga Buana dengan nama Prabu Wangi, dan penerusnya digelari nama Sili wangi, Sili berarti penerus, jadi Siliwangi dapat diartikan sebagai penerus atau keturunan Prabu Wangi.
Dari cerita Parahyangan dapat diketahui Sri Baduga merupakan Raja Pajajaran pertama yang dinobatkan dan duduk di atas Palangka Sriman Sriwacana. Dengan fungsinya yang demikian, dapat dibayangkan betapa tingginya pamor dari batu Palangka Sriman Sriwacana tersebut pada masa itu.
Naskah Banten mengisahkan benteng kota Pakuan, ibu kota Pajajaran baru dapat dikuasai pasukan Banten dan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana sebagai piranti penobatan raja. Secara simbolis penguasaan batu ini menjadi tanda kerajaan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2, keruntuhan Kerajaan Pajajaran itu diriwayatkan sebagai berikut :
“Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala”
Yang artinya : Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka. Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M. IC/VI/AND/09
Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia