Ada istilah pendermaan dalam tradisi kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Tentu saja hal ini menjadi pembeda dengan beberapa kerajaan di luar Nusantara. Kerajaan-kerajaan, khususnya di pulau Jawa yang berjalan dengan tradisi Hindu dan Budha.
Pendharmaan sendiri adalah tradisi atau tata cara pembangunan candi dan arca yang tujuannya untuk menghormati seorang tokoh entah itu raja, ratu, pengeran ataupun keluarga raja yang telah meninggal. Biasanya setelah di lakukan kremasi atau pembakaran mayat tokoh yang meninggal, maka abunya disimpan di area candi tersebut, yang kemudian disebut sebagai candi pandermaan. Selain abu, pada candi tersebut juga akan dibuat arca sebagai symbol atau representasi dari tokoh yang telah meninggal dunia.
Sejak zaman Mataram kuno, tradisi pendermaan ini sudah ada dan terus dilakukan hingga generasi berikutnya yakni Kerajaan Majapahit. Majapahit juga mengenal tradisi dan melaksanakan tradisi pendharmaan. Ada banyak catatan mengenai tradisi ini, namun yang paling jelas mencatatnya adalah Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, pujangga besar Majapahit. Dalam Kitab Negarakretagama, sedikitnya ada 9 nama tokoh yang dibuatkan pendermaan dan pengarcaan.
Ketika Raja dan Permaisuri meninggal, kerabat, pejabat dan rakyat akan berusaha mengenang dan menghormatinya dalam wujud arca. Tentu saja arca perwujudan dengan mengambil pakem bentuk dari dewa dan dewi yang menjadi sesembahan seluruh rakyat.
Arca itu kemudian diletakkan dibangunan khusus atau candi pendharmaan leluhur. Secara kontekstual bangunan pendharmaan akan memiliki tata bangunan yang berbeda bila dibandingkan dengan candi peribadatan untuk pemujaan dewa-dewi keagamaan.
Munculnya candi pendharmaan pada era Majapahit berkembang dengan pesat seiring perkembangan hegemoni dua agama besar Hindu dan Buddha. Dan munculnya aliran baru yang berupaya melebur keduanya dalam tata nilai universal yang dihiasi pernik pemujaan kepada leluhur, yang kemudian dikenal sebagai aliran Siwa Budha. IC/AND/XV/13