Kerajaan Hancur Akibat Tak Urus Air
Sebagai kerajaan yang berada pada posisi silang arus air, para ahli Majapahit memang dituntut untuk piwai mengendalikan air yang datang baik dari sungai maupun limpahan mata air dari beberapa gunung yang memagari kawasan kota raja Trowulan.
Mereka membangun banyak kanal, waduk, dan kolam-kolam buatan yang ditegrasikan dengan pola saluran-saluran air yang lebih kecil. Semua itu merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Hingga saat ini di wilayah Trowulan, baik kanal dan terutama gorong-gorong yang dibangun dari batu bata masih sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar. Beberapa gorong-gorong itu memiliki ukuran yang sangat besar, bahkan orang dewasa bisa masuk ke dalamnya.
Contoh yang paling nyata adalah Candi Tikus. Sebagai bagunan yang merupakan pemandian (petirtaan), Candi Tikus mempunyai gorong-gorong yang cukup besar untuk menyalurkan dibit air dalam jumlah besar ke dalam dan ke luar candi.
Selain gorong-gorong dan saluran bawah tanah, dibeberapa wilayan kota raja Trowulan banyak juga ditemukan saluran terbuka untuk mengairi lahan persawahan, serta penemuan pipa-pipa terakota (tanah liat). Saluran terakota ini kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno.
Temuan-temuan arkeologis itu menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit sudah memiliki teknologi tinggi pada sanitasi dan pengendalian air. Namun tekonologi air ini membutuhkan pemeliharaan dan dana yang sangat besar. Bukan hanya itu, dibutuhkan juga organisasi yang mengatur petugas atau orang-orang yang diberi tugas untuk menjaga agar bangunan air dapat berfungsi dengan maksimal.
Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air yang terdapat disekitar ibu kota Majapahit, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi, pengetahuan dan teknologi yang memadai. Mereka memiliki tanggungjawab besar untuk mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni.
Hingga kini tidak ada prasasti maupun naskah kuno, yang menyebutkan kapan, mengapa dan bagaimana waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun. Ada dugaan rusaknya bangunan-bangunan air kemungkinan diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro pada 1451. Letusan itu memuntahkan lahar dingin dan lumpur tebal hingga membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Salah satu buktinya adalah Candi Tikus yang berada di sekitar Waduk Kumitir dan Waduk Kraton, seluruhnya tertutup oleh lahar dengan ketebalan lebih dari 3 meter.
Kondisi ini diperparah oleh keadaan kerajaan yang kacau karena perang saudara dan perebutan kekuasaan. Kerusakan bangunan air yang tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Banjir dan erosi yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan ibu kota Majapahit menjadi daerah yang tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penduduknya. IC/AND/XII/09