Categories: The Route

Bengawan Solo Urat Nadi Ekonomi Pedalaman Jawa

Prasasti Panggumulan menyebutkan orang-orang menjual beras diangkut memakai magulungan atau pedati, tapi sebagian besar dibawa dengan maparahu atau perahu.

*************

Perkembangan pelabuhan di pesisir tak bisa dilepaskan dari jalur-jalur sungai yang bermuara di Laut Jawa. Ada banyak pelabuhan seperti Semarang, Jepara, Tuban, Gresik hingga Surabaya, sepenuhnya bergantung pada aliran sungai. Sungai-sungai besar yang mengarah ke pedalaman Jawa adalah urat nadi ekonomi dan transportasi pada abad pertengahan.

Jauh sebelum Daendels dikirim ke Jawa dan membangun rangkaian jalan-jalan pos yang kemudian berkembang menjadi cikal bakal jalanan di Jawa, sungai adalah jalan raya. Jalan sungai ini memanfaatkan beberapa sungai besar yang membelah Pulau Jawa.

Satu dari sungai itu adalah Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo menjadi pintu keluar masuk dari dan menuju pedalaman Jawa. Kerajaan Pajang dan Mataram Islam pada abad ke-17 menggunakan jalur ini untuk jalur perdagangan dari hulu di Surakarta hingga ke pelabuhan Gresik.

Membelah Pulau Jawa, Source: wiki

Memiliki rentang panjang keseluruhan hingga 600 kilometer yang membeleh Jawa dengan hulu di Pegunungan Sewu, Wonogiri dan bermuara di Gresik. Nama bengawan ini berarti sungai yang besar dalam bahasa Jawa. Pada masa lalu, sungai ini pernah dinamakan Wuluyu, Wulayu dan Semanggi yang dieja Semangy dalam beberapa naskah dan catatan bahasa Belanda abad ke-17

Sungai ini berjasa besar bagi perekonomian kerajaan-kerajaan di pedalaman Jawa. Berbagai komoditas diangkut dan hilir mudik dari Pelabuhan Internasional Gresik atau Tuban. Dari pedalaman hasil terbesarnya adalah perdagangan beras, gula dan teh pada masa kolonial.

Ini bisa di buktikan pada prasasti Panggumulan yang menyebutkan orang-orang menjual beras dari Desa Tunggalangan ke pasar di wilayah Desa Sindangan. Barang dagangan tersebut diangkut memakai magulungan atau pedati, tapi sebagian besar dibawa dengan maparahu atau perahu.

Bengawan Solo Modern yagn semakin sempit dan dangkal, Source: wiki

Jangan berpikir Bengawan Solo yang dulu seperti Bengawan Solo modern. Dulu Ketika kondisi air di Bengawan Solo masih stabil, banyak jenis perahu yang hilir mudik melintasinya. Perahu jenis jonggolan kebanyakan berasal dari Madura, memiliki tonase yang cukup besar.

Perahu jonggolan sedang mampu dimuati hingga 50 ton, sementara untuk jonggolan kecil hanya mampu memuat 30 ton. Kedua jenis perahu ini dapat sepanjang tahun hilir mudik, dari hulu Surakarta ke pelabuhan Gresik.

Hanya jonggolan jenis besar yang bisa muat hingga 100 ton yang tidak bisa sembarangan melayari sungai. Perahu besar ini membutuhkan kedalaman sungai agar tidak kandas. Karena itu, perahu-perahu besar hanya diperkenankan berlayar pada saat musim penghujan saja, karena ketinggian air sungai.

Namun jalan sungai ini lambat laun meredum dan ditinggalkan. Pada abad ke-18, pemerintah kolonial getol membangun jalan darat. Bahkan dari tahun ke tahun kondisi jalan darat itu semakin baik juga.

Sementara jalur sungai nyaris tidak ada pemeliharaan sama sekali, maka pendangkalan terjadi dimana-mana dan beberapa aliran sungai ini juga semankin menyempit. Perahu-perahu yang dulu mengangkut barang ke Gresik, alih fungsikan menjadi perahu penyeberangan warga. IC/AND.

 

Ingin tahu info-info tentang sejarah Indonesia, indonesia culture dan beragam budaya yang ada di negara ini. ayo kunjungi saja www.indonesiancultures.com disini kamu akan belajar banyak tentang budaya, adat yang pernah ataupun terjadi di Indonesia

Share