• Post author:
  • Post comments:0 Comments
  • Post category:Historica
  • Post last modified:24 Oktober 2022
  • Reading time:4 mins read

Peperangan yang dahsyat  mengakibatkan kehancuran  Surabaya pada  1743.   Kota ini resmi diserahkan pada VOC oleh  Pakubuwono II karena telah membantu memadamkan pemberontakan. Sebagai konsesi,  diserahkan pula
Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, serta Ujung Timur.

VOC mula-mula membangun loji dan benteng yang diletakkan di sebelah utara Kota Surabaya lama (sekitar kompleks kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan. Pahlawan) Karena letakknya  yang strategis, Surabaya dipilih menjadi tempat bagi penguasa Jawa bagian timur (Gezaghebber in den Oosthoek).

 

Pemukiman awal orang-orang Belanda terletak di sekitar komplek gubernur sekarang ini, sedangkan pemukiman keluarga tentara terletak di selatan benteng Retrachement. Pemukiman ini terus berkembang ke arah utara yang pusatnya terdapat di depan jembatan merah, yang di “mulut” jembatan itu dibangun Kantor Dinas Residen Surabaya. Daerah inilah yang kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan karena letaknya yang strategis di pinggir Kalimas.

Peta Soerabaja 1866

 

Sejak kebangkrutan VOC pada  1799, pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih Surabaya. Dan Sebagai akibat ditaklukkannya Belanda oleh Prancis dalam perang Napoleon di daratan Eropa, maka pada 1808-1811 Surabaya  berada di bawah pemerintah Belanda yang dikepalai oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Pada masa Daendels, Surabaya “disulap” jadi  kota Eropa kecil. Surabaya dibangun sebagai kota dagang dan kota benteng. Berbagai infrastruktur kota juga dibangun, seperti Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang menghubungkan kota-kota pantai utara dari Anyer sampai Panarukan.

 

Sebagai kota benteng, Daendels juga  melengkapi juga kota ini dengan pabrik senjata (artillerie constructie winkel), barak pasukan serta benteng Lodewijk. Kota ini terus berkembang hingga pada  1835 telah menjadi pusat kedudukan utama pasukan Belanda dengan menghancurkan kawasan lama dan memaksa penduduknya yang padat untuk melakukan pemukiman kembali

Salah satu tangsi atau barak tentera yang cukup terkenal adalah yang berada di Jalan Sikatan no 1 Surabaya. Kapan dibangunnya tangsi ini memang belum ada kepastian. Ada yang menyebut sebelum digunakan sebagai tangsi bangunan ini adalah bekas kantor bisnis VOC yang baru rampung pada 1809, hampir 10 tahun setelah bubarnya VOC. Gedung menjadi  rangkaian bangunan  kompleks militer AD yang dirintis sejak pemerintahan Gubernur  Jenderal Willem Herman Daendles (1808 – 1811).

 

Versi kedua menyebutkan gedung ini dibangun pada 1828, sebagai perluasan gedung utama. Menggunakan langgam arsitektur Indische Imperial dengan  sentuhan  neo klasik. Bangunan seangkatannya yang masih tersisa adalah Penjara Kalisosok. Namun ada juga yang menyubutnya  dibangun pada 1850.

 

Gedung ini awalnya adalah bangunan komplek militer Belanda. Barak militer ini ditempati oleh serdadu Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau tentara kerajaan Hindia Belanda. Masyarakat menyebutnya  Tangsi Djotangan (Djotangan-Militaire Kazerne).

 

100 tahun kemudian,  Tangsi Djotangan  berubah menjadi Hoofdbureau van Politie te Soerabaia atau Biro Besar Polisi di Surabaya saat dijadikan markas polisi Belanda pada 1928. Karena kesulitan melafalkan Hoofdbureau, lidah lokal menyebutnya dengan nama Hobiro.

 

Ketika Jepang menduduki  Surabaya, bangunan itu tetap menjadi markas polisi hanya saja berganti nama menjadi Soerabaja Shi Tokubetsu Keisatsu Tai (Pasukan Polisi Istimewa Kota Surabaya). Ditempat ini juga tersimpan banyak persenjataan yang ketika Indonesia merdeka, senjata-senjata dan kendaraan tempur itu direbut oleh pemuda Surabaya di bawah komando Mochammad Jassin.

Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.

Setelah merdeka, berdirilah Polwiltabes Surabaya yang membawahi jajaran polisi pada tingkat karesidenan. Saat masih bernama Polwiltabes Surabaya, wilayah hukumnya meliputi Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. IC/AND/XI/16

 

 

Komentar Untuk Sejarah Hoofdbureau van Politie te Soerabaia (Polrestabes Surabaya)