Dataran tinggi Dieng adalah kawasan yang dikelilingi sejumlah gunung dan pegunungan, dengan hawa dingin, serta kabut yang kerap kali turun. Saat sinar matahari berhasil mengalahkan kabut, akan nampak sejumlah pemandangan yang amat indah. Pegunungan yang terhampar, kehidupan masyarakat setempat yang menjalani laku hidup sederhana dengan semangat, lekuk-lekuk Sungai Serayu, kebun-kebun kentang, lahan-lahan tembakau, dan perumahan penduduk sekitar yang berpadu dengan kondisi alam secara permai.
Seumpama ditarik garis diagonal pada peta Pulau Jawa, akan kelihatan bahwa dataran tinggi Dieng adalah sebuah wilayah yang terletak persis di tengah-tengah Pulau Jawa. Suhu di Dieng beriksar antara 15-20 derajat celcius pada siang hari dan 10 derajat celcius pada malam hari.
Suhu ini akan turun pada pagi hari hingga kadang mencapai 0 derajat celcius. Hal itu terutama terjadi pada Juli-Agustus. Suhu dingin yang hampir setara dengan es ini disebut penduduk setempat sebagai bun upas yang berarti ‘embun beracum’. Sebutan ini diberikan karena embun yang amat dingin itu bisa menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian milik penduduk.
Nama Dieng besar kemungkinannya berasal dari dua kata dalam bahasa Sunda Kuno: ‘Di’ dan ‘Hyang’ karena sebelum tahun 600 Masehi wilayah itu didiami suku Sunda dan bukan Suku Jawa. Kata ‘Di’ berarti tempat atau gunung, dan ‘Hyang’ berarti Dewa.
Dari asal kata inilah kemudian Dieng diartikan sebagai ‘Kediaman Para Dewa’ dan kemudian kawasan ini dipercaya sebagai daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Dari Dieng, sumber mata air Sungai Serayu – bermuara di Cilacap – berada. Tuk Bimo Lukar, demikian nama sumber mata air Sungai Serayu, juga dipercaya dapat menjadikan seseorang menjadi awet muda.
Gunung Prau adalah cikal bakal Dieng Plateu. Pada masa lalu, Gunung Prau mengalami letusan dan mengalami dislokasi (penurunan drastic) lalu menghasilkan kaldera dan patahan. Pada bagian yang ambles kemudian muncul sejumlah gunung kecil, seperti Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur, dan Gunung Pakuwaja.
Beberapa gunung api itu masih aktif dengan karakteristik yang khas. Magma yang timbul tidak sekuat magma Gunung Merapi. Letupan-letupan yang terjadi di gunung-gunung itu akibat adanya tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena macam ini bisa dilihat dari Kawah Candradimuka dan Kawah Sikidang di Dieng.
Kawah Sikidang merupakan kawah vulkanik dengan lubang kepundan yang dapat disaksikan dari bibir kawah dan tergolong kawah yang aman bagi pengunjung karena kadar belerangnya yang rendah. Nama Sikidang ini karena pada waktu-saktu tertentu uap air dan lava yang berwarna kelabu menyembur secara bergantian dari mulut kawah yang jumlahnya sangat banyak dan dari kejauhan uap-uap itu nampak seperti Kijang yang tengah berlari berlompatan.
Legenda Sikidang menyebutkan di masa lampau, di dalam kawah tersebut terdapat sebuah istana milik seorang ratu cantik yang bernama Shinta Dewi. Pada suatu ketika, Shinta Dewi dilamar oleh pengeran yang yang memiliki wujud yang aneh, bertubuh manusia tapi berkepala kijang. Namanya, Kidang Garungan.
Karena tak sudi dinikahi, Shinta Dewi kemudian menyusun rencana untuk menggagalkan lamaran sang pangeran. Sang putri kemudian meminta Kidang Garungan membuat sumur yang sangat besar dan amat dalam di daerah itu. Ketika sumur itu hampir selesai dikerjakan, Shinta dan para pengawalnya bersama-sama mengurug sumur itu sehingga Kidang Garungan tertimbun di dalamnya.
Namun, Kidang Garungan berhasil keluar; dengan mengerahkan kekuatan yang dimilikinya, ia bisa meledakkan sumur tersebut. Namun ketika hendak keluar, sumur itu kembali diurug. Kidang berusaha keluar lagi, tapi Shinta terus menerus mengurugnya. Kesabaran Kidang Garungan pun habis; ia sangat marah sehingga kemudian mengutuk seluruh keturuan Shinta Dewi kelak akan berambut gembel atau gimbal.
Selain Sikidang, di Dieng terdapat sejumlah kawah lainnya seperti Kawah Timbang, Sinila, Sileri, Bitingan, Sibanteng, Pagerkandang, Pakuwaja, Siglagah, dan beberapa lainnya. Namun, dari semua kawah itu Sinila-lah yang paling banyak disebut.
Pada 1979, sebuah gempa yang terjadi akibat erupsi di dalam Kawah Sinila membuat masyarakat panik dan berlarian dari rumah. Tapi, saat berlarian itu justru mereka terjebak gas beracun yang keluar dari Kawah Sinila. Sebagian warga yang baru berjalan ke pasar dan lading, atau masih tertidur di rumah juga terkena sapuan gas beracun dan meninggal dunia.
Selain alam daya tarik luar biasa di Puncak Dieng adalah terdapat sejumlah percandian yang dibangun pada masa yang berbeda, antara abad 7-13. Konon ada sekitar 200 candi di Dieng pada zaman lampau tapi kini hanya empat gugusan candi, dan itupun hanya sedikit candi yang tersisa. Gugusan Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Tiga gugusan lainnya hanya menyisakan masing-masing satu candi: Candi Gatotkaca, Dwarawati, dan Bima. Kisah di balik candi-candi itu ternyata tak mudah diungkapkan.
Prasasti yang berjumlah 13 yang berhasil ditemukan di kawasan itu sebagian besar tak terbaca lagi. Sedangkan prasasti yang mudah dibaca tak menyebut secara spesifik nama candi tertentu. Prasasti-prasasti yang ditulis dengan Huruf Pallawa dengan Bahasa Jawa KUno itu memuat angka tertua 731 Saka (809 Masehi) dan paling muda 1132 Saka atau 1210 Masehi.
Satu-satunya cara memperkirakan waktu pembuatan dan fungsi candi-candi hanyalah dengan meneliti bentuk fisik bangunan yang tersisa. Secara fisik, diketahui bahwa candi-candi itu merupakan tempat pemujaan Dewa Syiwa dalam agama Hindu, namun tak banyak mengungkapkan kisah lain. Nama-nama candi yang sekarang pun kemungkinan baru diberikan berabad setelahnya. IC/VII/AND/24